Gerakan Pemuda Palestina di AS Pertanyakan Israel Selalu Dikecualikan dalam Pelanggaran HAM

15 Mei 2021, 10:11 WIB
Polisi Israel menahan seorang warga Palestina selama bentrokan di Gerbang Damaskus di Laylat al-Qadr selama bulan suci Ramadhan, di Kota Tua Yerusalem, 8 Mei 2021. / REUTERS / Ronen Zvulun

ZONABANTEN.com —‌‌‌‌ Para pendukung Palestina melakukan protes di luar Departemen Luar Negeri AS di Washington, DC, pada Selasa sore untuk menuntut pemerintah Biden mencegah pengusiran paksa keluarga Palestina dari rumah mereka di Yerusalem Timur.

Laura Albast, seorang penyelenggara Gerakan Pemuda Palestina, salah satu kelompok yang terlibat dalam demonstrasi, membuat petisi.

Petisi itu dilengkapi dengan lebih dari 200.000 tanda tangan yang telah dikirim ke Antony Blinken,  Menteri Luar Negeri AS, isinya mendesak Blinken untuk menghentikan pemindahan paksa.

"Negara kita mengirim miliaran dolar uang pembayar pajak ke Israel untuk mendanai militer," ujar Albast kepada Al Jazeera dalam wawancara telepon pada Selasa sore. 

"Mengapa Israel menjadi pengecualian dalam hal pelanggaran hak asasi manusia?"

Baca Juga: Prihatin Atas Bentrokan di Yerusalem, Kuartet Timur Tengah Minta Israel Menahan Diri

Sementara itu Presiden AS Joe Biden telah berjanji untuk mengambil pendekatan berbasis hak terhadap kebijakan luar negeri AS.

Tetapi ketika serangan udara Israel menghantam Jalur Gaza, menewaskan lebih dari dua lusin warga Palestina di wilayah pesisir yang terkepung, para pendukung Palestina mengatakan Biden gagal menerapkan standar itu ke Israel.

Menurut mereka, tanpa tekanan AS, Israel memiliki sedikit insentif untuk mengubah pendiriannya.

Phyllis Bennis, seorang analis di Institusi untuk Policy Studies yang berbasis di AS, menyatakan pendapatnya mengenai masalah ini.

"Selama AS tidak siap untuk meminta pertanggungjawaban Israel, pernyataan apa pun dari pemerintahan Biden tentang kekerasan yang sedang berlangsung tidak akan meredakan situasi," ujar Bennis kepada Al Jazeera dalam sebuah wawancara.

“Kami terus mendengar dari Presiden Biden bahwa dia menginginkan kebijakan luar negeri yang didasarkan pada hak asasi manusia, ” lanjutnya.

Baca Juga: Memprihatinkan ! Muslim Palestina Rayakan Idul Fitri Di Tengah Serangan Militer Israel

“Apa yang tidak kami lihat adalah komitmen nyata terhadap hak asasi manusia - dan tentunya dalam kasus ini, tidak ada kesediaan untuk menggunakan modal politik," ujar Bennis menekankan.

Serangan Israel di Gaza terjadi setelah ketegangan akan pemindahan paksa yang terpendam selama berminggu-minggu.

Pemindahan paksa ini dilakukan kepada beberapa keluarga Palestina dari Sheikh Jarrah, lingkungan Palestina di Yerusalem Timur yang diduduki.

Pemukim Yahudi telah berusaha untuk mengusir mereka dari wilayah ini selama beberapa dekade.

Situasi ini semakin memanas ketika polisi Israel menyerbu Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem, sebuah situs tersuci ketiga dalam Islam, dan melukai ratusan jemaah Palestina.

Kejadian itu terjadi dalam waktu beberapa hari yang dipenuhi oleh kekerasan. Protes pun pecah di seluruh wilayah pendudukan dan di dalam Israel. Faksi Palestina Hamas, yang menguasai Gaza, meluncurkan roket ke Israel.

Baca Juga: Kemenperin Percepat Pembangunan Kawasan Industri Halal, Salah Satunya di Cikande Serang, Banten

Pemerintahan Biden, yang mulai menjabat pada akhir Januari, telah menjelaskan bahwa konflik Israel-Palestina berada di urutan bawah dalam daftar prioritasnya di tengah masalah mendesak lainnya di dalam dan luar negeri.

Tetapi Yara Asi, seorang non-residen di Arab Center Washington, DC dan seorang sarjana pasca-doktoral di University of Central Florida, mengatakan sebaliknya.

Yara menekankan poinnya ketika AS menyalurkan $ 3,8 miliar dalam bantuan militer ke Israel setiap tahun dan memberikan perlindungan diplomatik dan politik kepada pemerintahan Israel di arena internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa.

"Tidak ada aktor eksternal yang lebih terlibat erat di luar Israel dan Palestina selain Amerika Serikat, dan ini telah terjadi selama beberapa dekade, serta terus berlanjut," ujar Yara kepada Al Jazeera.

"Hanya karena tidak menunjuk duta besar untuk Israel AS tidak bisa kemudian berkata, kami tidak memprioritaskan. Sudah terlambat untuk itu. Ini benar-benar hanya penerimaan diam-diam dari apa yang terjadi. Di satu sisi, AS mendukung semua yang terjadi. " ujarnya menambahkan.

Baca Juga: Kemenkes Upayakan Pembayaran Insentif Nakes Dilakukan Rutin Per Bulan

Seiring berlanjutnya kekerasan di Palestina, pemerintahan Biden telah mengeluarkan serangkaian pernyataan yang mendesak penurunan eskalasi. 

Tetapi para pengamat mengkritik pemerintah AS karena gagal mengenali asimetri kekuasaan antara Israel dan Palestina dan mereka mendesak Biden untuk berbuat lebih banyak.

Pada hari Selasa, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price menyerukan pengekangan dan penenangan. 

“Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri dan menanggapi serangan roket; rakyat Palestina juga memiliki hak atas keselamatan dan keamanan, seperti halnya Israel, ” ujar Price dalam jumpa pers.

Price telah dikritik karena mendesak pejabat Israel dan Palestina untuk bertindak tegas untuk mengurangi ketegangan dan menghentikan kekerasan di Yerusalem pada 7 Mei, hari yang sama ketika pasukan Israel menyerbu Masjid Al-Aqsa.

Baca Juga: Penyekatan Arus Mudik Mampu Turunkan Arus Lalin Hingga 70 Persen

Analis menyatakan bahwa Israel, yang menduduki Yerusalem Timur pada tahun 1967 dan secara sepihak menganeksasi wilayah tersebut pada tahun 1980, adalah satu-satunya otoritas di kota tersebut.

Para pendukung hak-hak Palestina juga mengecam Price karena gagal mengatakan bahwa warga Palestina memiliki hak untuk membela diri ketika didesak oleh wartawan selama briefing Departemen Luar Negeri pada hari Senin. 

"Saya tidak dalam posisi untuk memperdebatkan legalitas dari sini. Pesan kami adalah penurunan ketegangan.” ujar Price setelah diskusi panjang yang bolak-balik. 

***

Editor: Yuliansyah

Sumber: Al Jazeera

Tags

Terkini

Terpopuler