ZONABANTEN.com – Chairil Anwar merupakan salah satu penyair legendaris Indonesia yang karya-karyanya terkenang hingga saat ini.
Penyair yang dijuluki ‘si Binatang Jalang’ tersebut telah menciptakan 96 karya termasuk 70 puisi semasa hidupnya.
Chairil Anwar banyak menuliskan puisi yang berhubungan dengan kehilangan, cinta, hingga pemberontakan diri.
Di samping itu, Chairil yang diketahui sebagai keponakan dari Sutan Sjahrir, kerap menuliskan puisi yang bertemakan tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagai wujud nasionalismenya.
Baca Juga: Edarkan Sabu dan Ekstasi, Kasat Narkoba Karawang Ditangkap Bareskrim Polri
Berikut ini merupakan 5 puisi karya Chairil Anwar bertema kemerdekaan:
- Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda
Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang.
Februari, 1943
Baca Juga: Ramuan Herbal yang Mampu Sehatkan Organ Ginjal, Jantung, Paru, Otak, dan Reproduksi
- Karawang-Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi.
1948
Baca Juga: Contoh Teks MC 17 Agustus Bebasan Banten atau Jawa Serang (Jaseng)
- Persetujuan dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu,
dipanggang di atas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
1948
Baca Juga: Tips Efektif untuk Meredam Emosi
- Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu....
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
1948
Baca Juga: Kemenpora dan PSSI Terus Pikirkan Pembinaan Timnas U-16 Pasca Piala AFF U-16 2022
- Semangat
Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang 'kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu!
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang-menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri.
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.
Maret, 1943
Baca Juga: 10 Pantun Bertema HUT ke-77 RI, Cocok Jadi Caption Foto di Medsos saat Hari Kemerdekaan
Itulah 5 puisi karya Chairil Anwar bertema kemerdekaan, sebagai wujud nasionalisme ‘si Binatang Jalang’.***