Bersejarah! Presiden Prancis Minta Maaf dan Tegaskan Untuk Tidak Melupakan Genosida di Rwanda

- 7 Juni 2021, 14:26 WIB
Ilustrasi genosida. Anggota DPR RI Pangeran Khairul Saleh memuji kemunculan Timsus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM Berat dari Kejaksaan Agung.
Ilustrasi genosida. Anggota DPR RI Pangeran Khairul Saleh memuji kemunculan Timsus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM Berat dari Kejaksaan Agung. /Pixabay/Studiolarsen/

ZONABANTEN.com - Emmanuel Macron menjadi Presiden Prancis pertama yang mengakui bahwa kelambanan negaranya memiliki andil dalam genosida Rwanda tahun 1994.

Bagi rakyat Rwanda, permohonan maaf ini merupakan hal bersejarah.

Espérance Patureau telah menunggu Prancis untuk mengambil tanggung jawab selama 27 tahun.

Baca Juga: Polemik Belum Usai, Seorang Pejabat Senior Olimpiade Tokyo 2020 Meninggal Bunuh Diri di Kereta Bawah Tanah 

Dia kehilangan 12 anggota keluarganya, termasuk orang tuanya, saudara laki-lakinya, dan keponakannya yang berusia dua bulan, dalam genosida yang terjadi pada April 1994.

Seperti banyak orang, dia percaya kelambanan Prancis dalam bertindak menjadikannya pihak yang harus disalahkan.

“Negara memilih untuk berpaling,” ujar Patureau.

Baca Juga: Kalahkan Rekor Sendiri, EXO Jadi Sextuple Million Seller dengan Album Spesial Mencapai 1,22 Juta Pre-order 

Presiden Prancis Emmanuel Macron, dalam kunjungan ke peringatan genosida di Rwanda, mengatakan negaranya memikul “tanggung jawab yang sangat besar” karena gagal menghentikan pembunuhan hampir 800.000 orang.

Genosida ini dilakukan terhadap sebagian besar kaum minoritas Tutsi dan dilakukan oleh militan kaum mayoritas Hutu.

Presiden Prancis pada saat itu, Francois Mitterrand, memiliki hubungan dekat dengan pemerintah yang dipimpin Hutu.

Baca Juga: Meghan Markle dan Pangeran Harry Sambut Kelahiran Anak Kedua, Nama Unik Bayi Jadi Sorotan 

Banyak yang merasa bahwa Francois dapat melakukan intervensi untuk menghentikan pembunuhan tersebut.

Namun, pasukan Prancis baru dikerahkan setelah dua bulan setelah pembantaian dimulai.

Patureau tinggal di Guinea pada saat itu, setelah menikah dengan pria Prancis.

Baca Juga: Ada BLT Dana Desa Rp.300 Ribu, Berikut Syarat Cara Daftar dan Cek Penerima di sid.kemendesa.go.id

Dia memohon kepada Kedutaan Besar Prancis di daerahnya, Palang Merah, dan UNHCR untuk membantu menyelamatkan keluarganya, tetapi tidak berhasil.

Keponakannya Serge Rugema selamat dari teror, dan keadaan keluarganya menyebabkan dia diadopsi oleh Patureau.

Setiap tahun, di sekitar hari peringatan genosida, dia jatuh sakit.

Baca Juga: Kurs Rupiah terhadap Dolar 7 Juni 2021: Dolar Ngegas, Rupiah Lemas 

“Saya pikir genosida itu yang membuat saya sakit.” ujar Patureau seperti yang dikutip Zona Banten dari NHK.

"Saya tidak bisa memberi tahu teman-teman saya apa yang terjadi pada saya sampai saya berusia 20-an." ujar Patureau.

“Bekas luka emosional saya belum sembuh bahkan setelah 27 tahun,” ujar Patureau menambahkan.

Baca Juga: Bantuan Internasional Terus Diblokir oleh China, Taiwan Terima Sumbangan 750 Ribu Dosis Vaksin dari AS 

Hubungan antara Prancis dan Rwanda berantakan setelah genosida dan kedua negara memutuskan hubungan diplomatik pada 2006.

Pada tahun 2010, Nicolas Sarkozy, presiden Prancis saat itu, mengakui bahwa Prancis telah membuat "kesalahan besar".

Tetapi Macron telah mengambil pendekatan yang lebih berani.

Baca Juga: Pemilik Restoran Kebingungan Atas Kebijakan Ontario Izinkan Membuka Patios Kembali di Tengah Pandemi Covid-19 

Pada tahun 2019, ia memerintahkan penyelidikan atas apa yang terjadi antara tahun 1990 dan ketika genosida dimulai.

Pada 1990, Prancis mengirim pasukan ke Rwanda untuk campur tangan dalam perang saudara di negara tersebut.

Perang tersebut terjadi antara pasukan pemerintah yang dipimpin Hutu dan pemberontak Front Patriotik Rwanda yang didukung oleh Tutsi.

Baca Juga: Indonesia Berduka, Menteri Luar Negeri Era Orde Baru Mochtar Kusumaatmadja Meninggal di Usia 92 Tahun 

Sebuah komisi menganalisis sekitar 8.000 dokumen rahasia dan menerbitkan temuannya pada Maret tahun ini.

Laporan tersebut menyatakan bahwa pemerintahan Mitterrand “menunjukkan kebutaan terus-menerus” dalam memberikan dukungan militer kepada rezim pimpinan Hutu Rwanda.

Dukungan itu diberikan dengan dalih mempromosikan demokrasi, yang memungkinkan para ekstremis untuk mendapatkan kekuasaan.

Baca Juga: Gejala Tekanan Darah Tinggi Ekstrem, Ini Tanda Peringatan dari Kepala Hingga Ujung Kaki yang Harus Diwaspadai 

Laporan itu juga menemukan Prancis "bereaksi terlambat" setelah keengganan awal untuk campur tangan secara militer ketika pembantaian dimulai.

Selama penundaan itulah sebagian besar orang Tutsi terbunuh.

Istilah “tanggung jawab luar biasa” (overwhelming responsibility) yang digunakan Macron berasal dari kesimpulan tersebut.

 Baca Juga: Segera Daftar Bantuan Pemerintah Untuk 1300 Wirausaha, Begini Caranya

Sejarawan Vincent Duclert, yang memimpin tim penyusun laporan tersebut, mengatakan bahwa dokumen itu sangat diperlukan jika Prancis dan Afrika ingin membangun masa depan bersama.

“Melaporkan kebenaran tentang halaman gelap sejarah mutlak diperlukan.” ujar Duclert pada artikel NHK yang sama.

“Mengejar kebenaran menunjukkan kehebatan sebuah negara,” ujar Duclret.

Baca Juga: Empat Presiden Indonesia Lahir di Bulan Juni, Berikut Ini Daftarnya 

“Prancis menghancurkan kehidupan orang-orang Rwanda dan menghancurkan negara. Pada titik ini, Prancis harus meminta maaf kepada warga Rwanda dan para penyintas genosida.” ujar Duclert menegaskan.

Selama 20 tahun terakhir, Patureau telah melakukan perjalanan antara Prancis dan Rwanda untuk mendukung para janda dan anak yatim piatu yang selamat dari genosida.

Menyaksikan Presiden Macron menyampaikan pidatonya di Rwanda adalah momen yang emosional.

Baca Juga: Inggris Ingin Seluruh Dunia Selesai Divaksin pada 2022, Rencanakan Pengiriman 100 Juta Dosis Ke Luar Negeri 

“Dia adalah presiden Prancis pertama yang mengunjungi Rwanda hanya untuk kami,” ujar Patureau.

“Kata Ibuka, yang dia gunakan beberapa kali, berarti ‘jangan pernah lupa’ dalam bahasa Rwanda.” ujar Patureau menjelaskan.

“Ini adalah langkah maju yang besar. Saya harap orang-orang sekarang mengerti apa yang telah kami coba katakan selama 27 tahun adalah kebenaran.” ujar Patureau menambahkan.***

Editor: Yuliansyah


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah