“Yang bahaya di kesehatan adalah yang 2,5. Kenapa? Dia bisa masuk sampai pembuluh alveoli di paru. Itu yang menyebabkan kenapa pneumonia itu terjadi. Itu sebabnya, kalau di kesehatan memang kita melihatnya di PM 2,5, karena ini yang bisa masuk sampai dalam, kemudian menyebabkan pneumonia yang memang di BPJS ini paling besar,” jelas Budi.
Baca Juga: Waspada, Jumlah Kasus ISPA di Kota Tangerang Meningkat akibat Polusi Udara
Terkait hal ini, Presiden meminta jajarannya dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menyesuaikan standar kualitas udara yang terkini dan telah diperketat oleh WHO.
“Jadi ada guidance lagi WHO mengenai standar-standar dari standar udara yang harus dipenuhi untuk menjaga level kesehatan masyarakat. Dan arahan Bapak Presiden tadi, coba ini dibicarakan dulu dengan Menteri LHK dan nanti Menteri LHK lah yang akan menentukan standarnya di mana, supaya sama di seluruh industrinya,” ungkap Budi.
Untuk memantau kualitas udara, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah melengkapi puskesmas di Jabodetabek dengan alat monitoring yang dapat mendeteksi kadar PM 2,5 secara real time.
“Kita di puskesmas ada alat-alat monitoring yang kita bagi sebagian sanitarian kit biasanya dikasih tuh di seluruh puskesmas. Tapi itu lebih ke indoor measurement sebenarnya, bisa juga dipakai outdoor, tapi tidak terus-menerus seperti yang tadi disampaikan oleh Ibu Menteri LHK untuk mengetahui komponen-komponen kesehatan udara, tanah, dan air,” jelasnya.
Kemudian, untuk menurunkan risiko dan dampak kesehatan dari polusi udara, Kemenkes akan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait bahaya polusi udara bagi kesehatan.
Selain itu, penggunaan masker juga diberlakukan sebagai upaya pencegahan apabila polusi udara terpantau tinggi berdasarkan standar yang sudah ditetapkan.
Menkes menyarankan masker yang memiliki spesifikasi tertentu yang memiliki kerekatan untuk menahan partikulat.