KPU Surabaya melalui kuasa hukum Sri Sugeng Pujiatmiko hanya mengatakan permohonan itu bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus karena tidak mempersoalkan hasil pemilihan kepala daerah.
Selain itu, dalam eksepsi, KPU Surabaya menyatakan Machfud Arifin-Mujiaman tidak memiliki kedudukan hukum karena selisih suara melebihi ambang batas, yakni 0,5 persen atau 5.247 suara, sementara selisih suara Machfud Arifin-Mujiaman dan Eri Cahyadi-Armudji sebanyak 145.746 suara atau 13,8 persen.
Baca Juga: YESS! BLT UMKM Rp2,4 Juta Tahun 2021 Diperpanjang
Pada intinya KPU Suabaya sebagai termohon hanya menjawab pelaksanaan tahapan pemungutan dan penghitungan suara sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Rekomendasi Bawaslu pun telah ditindaklanjuti.
Tidak ada penjelasan soal pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif (TSM) berupa keterlibatan Pemerintah Kota Surabaya dan Risma sebagai wali kota Surabaya serta pelanggaran hukum tidak diproses dengan benar.
Dalam permohonannya, bahkan pemohon membuat peta sebaran kecurangan dan pelanggaran TSM di 20 dari total 31 kecamatan di Surabaya.
Kemudian juga menjabarkan keterlibatan Risma dengan jabatan wali kota yang melekat. Namun, tidak ada jawab dari KPU Surabaya soal semua itu.
Ketika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi meminta penjelasan soal pelanggaran TSM, kuasa hukum KPU Surabaya berdalih pelanggaran TSM adalah kewenangan absolut Bawaslu Surabaya.
Saat ditanya beberapa kali oleh hakim pun, kuasa hukum termohon tetap pada pendirian keterangan soal pelanggaran TSM semestinya Bawaslu yang menjawab.