11 September Hari Wafatnya Raden Dewi Sartika, Simak Biografi dan Perjuangannya Memajukan Pendidikan Wanita

11 September 2022, 14:28 WIB
Biografi singkat dari Raden Dewi Sartika, salah satu pahlawan emansipasi wanita yang wafat pada 11 September /@don_fatbozz/Instagram

ZONABANTEN.com – 11 September hari wafatnya Raden Dewi Sartika. Berikut biografi singkat dan perjuangannya memajukan pendidikan wanita.

Dilansir dari museumpendidikannasional.upi.edu, Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884.

Dewi Sartika lahir dari pasangan Raden Somanagara dan Nyi Raden Ayu Rajapermas, di mana ayahnya adalah seorang pejuang kemerdekaan, yang dibuang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal di sana.

Orangtua Dewi Sartika bersikukuh untuk menyekolahkan Dewi Sartika ke sekolah Belanda, meskipun hal tersebut melanggar adat istiadat.

Setelah ayahnya meninggal, ia dirawat oleh pamannya yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka.

Dari pamannya, Dewi Sartika mendapat pendidikan tentang kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan barat diperolehnya dari didikan seorang nyonya Asisten Residen Bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk maju.

Baca Juga: Biografi Singkat Raden Dewi Sartika, Salah Satu Pahlawan Emansipasi Wanita Bersama R.A Kartini

Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, ia sering berperan sebagai guru dari teman perempuan sebayanya, mengajari baca-tulis dan Bahasa belanda pada anak-anak pembantu di kepatihan.

Apalagi, saat Dewi Sartika berusia 10 tahun kala itu, Cicalengka sedang digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa kata Bahasa Belanda karena belum banyak yang memiliki kemampuan itu.

Perjuangan dan cita-citanya tidak sia-sia. Berkat bantuan dari R.A.A. Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer sebagai Inspektur Kantor Pengajaran saat itu, Dewi Sartika berhasil mendirikan “Sekolah Isteri” pada 1904.

Hanya ada 2 kelas di sekolah tersebut, jadi tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung untuk ruang belajar.

Awalnya, hanya 20 murid yang diajarkan berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam, dan pelajaran agama di sekolah itu.

Sekolah Isteri sempat menuai kecurigaan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, tapi Dewi Sartika berhasil mendapat dukungan dari C. De Hammer dan H.O.S Cokroaminoto.

Baca Juga: Atasi Bibir Kering dan Pecah-pecah Saat Puasa dengan 3 Tips Berikut, Salah Satunya Penuhi Cairan Tubuh

Justru, hambatan terbesar datang dari keluarganya, yang menganggap bahwa seorang anak perempuan yang mengenyam pendidikan adalah hal yang tabu.

Persinggungan dengan sahabat suaminya, Sosrokartono dan Kardinah, yang tak lain adalah kakak dan adik dari R.A. Kartini, membuktikan bagaimana gagasan untuk membuka jalan pendidikan bagi perempuan yang selama ini dianggap tabu itu tidak hanya warga Pasundan, melainkan mendapat apresiasi secara nasional.

Tak hanya pencetus pendidikan di kaum perempuan, Dewi Sartika juga seorang aktivis berintegritas yang mewakafkan kehidupannya untuk pendidikan.

Tak heran, menjelang wafatnya di pengungsian Desa Cineam, satu hal ia pikirkan adalah bagaimana kelangsungan sekolahnya, yang mengakibatkan penyakit gulanya kronis.

Dewi Sartika meninggal pada 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam.

Jenazah Dewi Sartika kembali dimakamkan di Kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung, tiga tahun kemudian.

Prestasi dan perjuangan Dewi Sartika dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi, khususnya perempuan, membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966.***

Editor: Yuliansyah

Sumber: Museum Pendidikan Nasional

Tags

Terkini

Terpopuler