Memotret secara Diam-Diam akan Diakui sebagai Kejahatan di Jepang, Kecuali para Atlet

- 10 Mei 2023, 15:55 WIB
Memotret secara diam-diam akan dianggap sebagai kejahatan di Jepang, kecuali untuk para atlet.
Memotret secara diam-diam akan dianggap sebagai kejahatan di Jepang, kecuali untuk para atlet. /The Mainichi

ZONABANTEN.com - Sebuah rancangan Undang-Undang telah diajukan dalam sidang yang sedang berlangsung di Japanese National Diet. Rancangan Undang-Undang ini menargetkan tindakan keras terhadap orang-orang yang mengambil foto secara diam-diam.

 

Langkah tersebut akan menjadikan pengambilan gambar voyeuristik yang bersifat eksploitatif secara seksual sebagai tindakan ilegal di tingkat nasional.

 

Menurut Badan Kepolisian Nasional, jumlah penangkapan untuk fotografi diam-diam mencapai 5.019 kasus pada tahun 2021, kira-kira tiga kali lipat dari angka tahun 2010.

 

Meskipun masalah ini sangat serius bagi para atlet muda yang menjadi sasaran orang-orang yang melakukan "fotografi diam-diam" di lapangan maupun di luar, situasi semacam ini belum dapat diatasi. 

 

Salah satu penyebab utama peningkatan ini adalah smartphone, serta sangat sulit untuk membuktikan niat seksual atau niat jahat dalam foto-foto yang diambil saat para atlet bertanding dengan pakaian olahraga.

 

Kasus-kasus voyeurisme seperti itu telah terjadi lebih sering dalam beberapa tahun terakhir, dengan peningkatan yang sesuai dalam penangkapan yang dilakukan. 

 

Baca Juga: Anaknya Tewas di Tempat Penitipan Anak, Pasangan Vietnam Ini Minta Pelaku Dihukum Seberat-beratnya

 

Hingga saat ini, orang-orang yang tertangkap oleh polisi karena mengambil foto tanpa persetujuan subjek berada di bawah lingkup peraturan anti gangguan tingkat prefektur. Namun, tindakan yang dicakup dan hukuman yang dikenakan berbeda dari satu kota ke kota lainnya karena peraturan yang juga berbeda.

 

Di bawah undang-undang baru ini, para pelanggar akan menghadapi hukuman penjara hingga tiga tahun atau denda hingga 3 juta yen ($22.000).

 

Tak hanya pengambilan gambar seseorang secara diam-diam yang dapat ditafsirkan sebagai tindakan seksual, memasok atau menyebarluaskan gambar atau video yang eksplisit secara seksual juga termasuk sebagai pelanggaran yang dapat dihukum dalam Undang-Undang Kejahatan Fotografi ini.

 

Namun, peraturan baru ini tidak mencakup fotografi atlet yang mengenakan pakaian olahraga di kompetisi, kecuali dalam kasus-kasus di mana kamera inframerah yang dapat melihat pakaian yang digunakan. 

 

Dalam peraturan baru ini, hanya akan melarang pengambilan foto atlet yang sedang berlatih.

 

Dalam sebuah simposium pada Sabtu, 15 April 2023, para pengacara yang menangani masalah ini bersama dengan mantan anggota tim bola voli nasional Jepang, Kana Oyama, menekankan perlu adanya legislasi.

 

Baca Juga: Krisis Penduduk, Angka Kelahiran Bayi di Korea Selatan Turun ke Tingkat Terendah

 

Mereka mengatakan bahwa fotografi diam-diam ini adalah "masalah yang masih ada" terutama bagi atlet yang sedang bertanding.

 

"Hanya karena foto diambil dari seseorang yang berpakaian, buka berarti hal itu tidak menjadi masalah," kata pengacara Yoji Kudo. "Kita tidak boleh menyerah pada kontrol hukum hanya karena sulit untuk melihat perbedaan," katanya.

 

Kudo berbicara tentang tekadnya untuk memiliki undang-undang yang jelas setelah menunjukkan kerusakan yang ditimbulkan ketika gambar-gambar tubuh atlet diunggah dan disebarkan di internet.

 

Ia juga memberikan contoh negara lain di mana fotografi yang dilakukan secara diam-diam dengan adanya tujuan tertentu dapat dihukum oleh hukum.

 

Oyama mengatakan bahwa ia pertama kali mengetahui tentang adanya foto voyeurisme di Sekolah Menengah Pertama. Ketika berganti seragam di tempat yang tidak memiliki ruang ganti, pelatihnya memperingatkan bahwa fotonya diambil.

 

Atas hal itu, Oyama menyerukan untuk membuat undang-undang yang lebih kuat. "Saya merasa bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan di mana anak-anak dapat benar-benar terlibat dalam olahraga," kata Oyama, yang kini menjadi ibu dari dua anak.

 

Baca Juga: Generasi Hikikomori Korea Selatan Lebih Tinggi dari Jepang, Ini Penyebabnya

 

Ada psikologi yang sama pada pria yang mengambil foto atlet atau orang lain dengan tujuan eksploitasi seksual. 

 

Beberapa orang melihatnya sebagai "sindrom ketergantungan" karena orang yang melakukan kegiatan tersebut cenderung melakukannya secara teratur, menjadikannya masalah yang mengakar.

 

Dalam hal ini, para pelaku foto voyeurisme mengatakan bahwa tidak peduli bagaimana mereka melakukannya, mereka memperlakukannya seperti sebuah permainan yang memungkinkan mereka untuk menemukan kepuasan tanpa mempedulikan rasa bersalah atau risiko.

 

Seorang mantan guru Sekolah Menengah Pertama berusia 40-an yang mulai mengambil foto voyeuristik saat kuliah menceritakan pengalaman tersebut kepada Kyodo News dalam sebuah wawancara.

 

"Itu adalah rasa ingin tahu. Saya mencobanya dan mengambil foto. Itu hampir seperti sebuah permainan," katanya.

 

Setelah ia mampu menangkap lebih banyak gambar, ia semakin asyik dengan "permainan" ini, dan metodenya pun semakin berani.

 

Baca Juga: Begini Persepsi Warga Korea Selatan Mengenai KDRT

 

Pada tahun 2019, seorang penumpang kereta memergokinya sedang meletakkan ponsel pintarnya di bawah rok seorang siswi SMA. Dia dirujuk ke jaksa karena dicurigai melanggar peraturan anti gangguan. "Saya tidak pernah membayangkan akan tertangkap," katanya.

 

Dia merasa bersalah atas tindakannya sebagai seorang guru yang bertanggung jawab atas anak-anak. Namun ia menambahkan, "Ketika saya melakukannya, semua masalah saya hilang. Ketika sakelar dinyalakan, saya lupa segalanya dan tidak bisa melihat apa pun di sekitar saya."

 

Sekitar 2.000 gambar voyeuristik ditemukan tersimpan di ponselnya saat ia tertangkap.

 

Pria itu percaya bahwa memotret atlet untuk kepuasan seksual dapat dianggap sama dengan melakukannya di kereta api atau di jalan. "Ini adalah nilai yang meresap ke dalam masyarakat kita. Ada pandangan di Jepang yang menseksualisasi perempuan," katanya.

 

Seorang pekerja sosial yang merawat dan membantu para pecandu seks, Akiyoshi Saito, mengatakan bahwa voyeurisme foto itu sama seperti halnya perjudian, di mana para pelaku "memiliki aspek ketergantungan pada tindakan tersebut".

 

Meskipun undang-undang baru tidak diragukan lagi akan menjatuhkan hukuman dengan harapan dapat mencegah kejahatan tersebut, mantan guru ini mengatakan, "Tidak sesederhana itu. Ada orang-orang yang akan melakukannya bahkan jika mereka dijatuhi hukuman mati."

 

Baca Juga: Angka Kelahiran Terus Menurun, Korea Selatan Diprediksi Jadi Negara Hilang

 

Pada bulan Maret, sebuah serikat pekerja penerbangan merilis sebuah survei yang menunjukkan bahwa sekitar 70 persen pramugari di Jepang telah melaporkan bahwa foto-foto mereka diambil secara diam-diam.

 

Ketua Federasi Serikat Pekerja Industri Penerbangan Jepang, Akira Naito, menyebut angka tersebut "mencengangkan," dan menekankan perlunya hukuman yang tegas melalui undang-undang.

 

Masalah ini semakin serius ketika sebagian pramugari juga melaporkan bahwa foto-foto payudara, bokong, atau daerah lain diambil dalam ruang tertutup di dalam pesawat.

 

Seorang pengacara dan pakar korban foto voyeurisme, Sakura Kamitani, mengatakan, "Tren untuk menjadikan memotret sebagai kejahatan adalah langkah maju yang besar, tetapi sangat disayangkan bahwa voyeurisme atlet tidak dapat dihukum."

 

"Saya sadar bahwa sulit untuk menuangkan hukum ke dalam tulisan, tetapi ini masih merupakan kejahatan yang membutuhkan undang-undang," kata Kamitani. *** 

Editor: Rismahani Ulina Lubis

Sumber: The Mainichi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah