Joe Biden Merespon Kudeta Militer Myanmar, Ancam Lanjutkan Sanksi & Serukan Solidaritas Internasional

- 2 Februari 2021, 07:46 WIB
Joe Biden
Joe Biden /Instagram @joebidem

Reputasi Aung San Suu Kyi, pemenang hadiah Nobel perdamaian, telah berkurang secara dramatis di barat karena pendekatannya terhadap krisis Rohingya, termasuk ketika dia membela Myanmar selama kasus genosida di pengadilan internasional (ICJ) di The Den Haag.

Para pendukungnya mengklaim kemajuan yang relatif lambat menuju reformasi di negaranya telah terbukti oleh kudeta yang dia peringatkan selalu di depan mata.

Ada harapan kemenangan telaknya dalam pemilihan November akan membuatnya berani untuk menunjukkan kemandirian yang lebih besar dari militer.

Dalam pernyataan yang lebih panjang, Kementerian Luar Negeri Inggris mengatakan, “Inggris mengutuk keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar pada 1 Februari dan penahanan anggota pemerintah sipil dan masyarakat sipil, termasuk Penasihat Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint."

Baca Juga: Ga Perlu Alat Khusus, Ini Cara Perbanyak Tanaman Calathea dengan Pemisahan Rumpun, Mudah Diterapkan Pemula

"Inggris meminta militer untuk menghormati supremasi hukum dan hak asasi manusia, dan membebaskan mereka yang ditahan secara tidak sah." Dikutip dari The Guardian.

Myanmar telah mengalami dua kudeta sejak kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, satu pada tahun 1962 dan satu lagi pada tahun 1988.

Negara ini sangat terpecah atas dasar etnis, penuh dengan senjata yang berlebihan dan sangat bergantung pada bantuan luar negeri.

Daniel Russel, diplomat tertinggi AS untuk Asia Timur di bawah Barack Obama, yang membina hubungan dekat dengan Aung San Suu Kyi, mengatakan pengambilalihan militer lainnya di Myanmar akan menjadi pukulan telak bagi demokrasi di kawasan itu.

“Ini adalah kemunduran besar, tidak hanya untuk demokrasi di Myanmar, tetapi untuk kepentingan AS. Ini adalah pengingat lain bahwa absennya keterlibatan AS yang kredibel dan mantap di kawasan itu telah memperkuat kekuatan anti-demokrasi."***

Halaman:

Editor: Rizki Ramadhan

Sumber: The Guardian


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x