Kasus Rohingya Dibuka Kembali, Harapan Baru Bagi Minoritas Myanmar

- 21 Februari 2022, 20:27 WIB
Mahkamah Internasional kembali buka gelar perkara kasus genosida Myanmar
Mahkamah Internasional kembali buka gelar perkara kasus genosida Myanmar /Mohammad Ponir Hossain/Reuters

ZONABANTEN.com - Mahkamah Internasional kembali menggelar olah kasus genosida Rohingya pada hari Senin, 21 Februari 2022.

Persidang digelar untuk mendengarkan keberatan awal Myanmar terhadap kasus genosida yang ditujukan kepadanya, yang telah berlangsung sejak tahun 2017 oleh militer Myanmar.

Persidangan kali ini telah mendapatkan urgensi dan kerumitan tambahan oleh kudeta militer yang telah berlangsung kurang lebih selama setahun.

Kasus ini diajukan oleh Gambia, dengan dukungan negara Organisasi untuk Kerjasama Islam (OKI), terkait pengusiran lebih dari 700 ribu etnis Rohingya, yang disertai pembunuhan massal, pemerkosaan, serta kekerasan lainnya.

Baca Juga: Bros Abad Pertengahan dengan Inskripsi ‘Salam Maria’ Ditemukan dengan Metal Detektor

Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing dan lima jenderal tertingginya, telah direkomendasikan oleh penyelidik PBB untuk diadili atas “niatan” genosida.

Keberatan awal, awal mulanya diajukan oleh pemerintahan Aung San Suu Kyi, hingga dirinya dirinya digulingkan oleh militer Myanmar, pada tahun Februari 2021.

Tetapi kemudian para legislator terpilih Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) yang diberhentikan militer, memilih mencabut keberatan dan ingin Mahkamah tetap melanjutkan kasus, pada pekan lalui.

PBB mengatakan bahwa duta besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, yang diangkat oleh pemerintahan Aung San Suu Kyi, adalah satu-satunya orang yang berwenang terlibat dalam persidangan.

Baca Juga: Pendaftaran Kartu Prakerja Gelombang 23 Ditutup Kapan? Ini Prediksi Jadwal Penutupan dan Pengumuman Kelolosan

Komite kredensial Majelis Umum PBB juga mengatakan bahwa Kyaw Moe Tun tetap dapat menjabat, hingga ditetapkan siapa yang harus mewakili Myanmar.

Sementara Human Rights Watch dan Global Justice Center mengatakan bahwa militer tidak memiliki pengaruh apa-apa dalam persidangan, karena tidak memiliki perwakilan tetap yang terakreditasi ke pengadilan.

Komunikasi biasanya dilakukan kepada panitera melalui Menteri Luar Negeri yang mereka punya, atau Duta Besar mereka yang terhubung dengan Belanda.

Tetapi meskipun ada kendala terkait perwakilan, kelompok hak asasi dan Rohingya berpendapat bahwa ini semakin mendesak, terutama dengan meningkatnya kekerasan terhadap gerakan anti-kudeta.

Baca Juga: Mohammed bin Salman Putra Mahkota Arab Saudi Menelepon Presiden Jokowi untuk Bicarakan Hal Penting Ini!

Setidaknya lebih dari 1.560 orang tewas semenjak para petinggi militer itu merebut kekuasaan, disertai peningkatan kekerasan bagi minoritas di negara tersebut.

Ketika militer Myanmar terus melakukan kekejaman terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta dan etnis minoritas, harus diperhatikan bahwa akan ada konsekuensi atas tindakan ini. Masa lalu, sekarang, dan masa depan,” kata Akila Radhakrishnan, presiden Pusat Keadilan Global.***

Editor: IDHY ADHYANINDA SUGENG MULYANDINI

Sumber: Aljazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah