Kuwait Cabut Hukum Terkait Transgender, Dianggap Melanggar Kebebasan Pribadi dan Menangkap Trans Seenaknya

20 Februari 2022, 18:42 WIB
Ilustrasi Kuwait // Pixabay/Hans

ZONABANTEN.com – Pad Rabu, 16 Februari 2022, Mahkamah Konstitusi Kuwait secara resmi telah membatalkan undang-undang yang digunakan oleh pihak berwenang untuk mengadili orang-orang dari kalangan transgender.

Undang-undang yang sebelumnya digunakan untuk kaum trangender tersebut dianggap melanggar hak dari warga Kuwait terkait kebebasan pribadi.

Pembatalan tersebut mendapat pujian dari aktivis dan dianggap sebagai tonggak bagi hak-hak transgender lainnya di Timur Tengah.

Undang-undang tersebut merupakan Pasal 198, dianggap telah mengkriminalisasi “peniruan terhadap lawan jenis,” memberikan otoritas Kuwait kebebasan untuk menghentikan, menangkap, serta mengadili orang-orang yang memiliki penampilan tidak sesuai dengan jenis kelamin yang telah tertera pada kartu identitas resmi setiap warga negara.

Dilansir ZONABANTEN.com dari The New York Times, waria serta aktivis Kuwait mengatakan bahwa polisi sering menahan orang transgender di pos pemeriksaan keamanan setelah berhasil memeriksa surat-suratnya, terkadang tak jarang seorang petugas pria yang mempunyai suara feminim.

Selama dilakukan interogasi, orang transgender mengatakan jika polisi sering melakukan pelecehan seksual bahkan penyerangan fisik yang dilakukan kepada transgender yang ditahan serta memenjarakannya.

Baca Juga: Dabbe: The Possession, Film Horor Turki yang Mengusung Konsep Kerasukan dan Ruqyah

Keputusan yang dibuat pada hari Rabu kemarin (16 Februari 2022), menjadi sorotan sebagai kemajuan langka terkait hak-hak seksual di wilayah di mana gay dan transgender diperlakukan berbeda, karena dianggap bertentangan dengan hukum.

Sebagian besar wilayah yang berada di negara Arab, sikap tradisional tentang norma gender bergabung dengan keyakinan agama yang ketat untuk membuat variasi seksual sebagian besar masih dianggap tabu.

Sebagai negara dengan kota kecil yang begitu kaya akan minyak di Teluk Persia dan politik yang sedikit lebih terbuka dibandingkan tetangganya yang otoriter, Kuwait tidak serta merta menjadi penentu kebebasan seksual di Kawasan tersebut.

Akan tetapi, Lyn Maalouf, yang merupakan wakil direktur Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, menyambut baik keputusan itu sebagai “terobosan besar.”

Namun, ia meminta kepada Kuwait untuk lebih memastikan undang-undang tersebut dicabut sepenuhnya serta mengakhiri praktik penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan kepada orang-orang transgender.

Pada Rabu (16 Februari 2022), Lyn Maalouf juga mengungkapkan, “Pasal 198 sangat diskriminatif, terlalu kabur dan seharusnya tidak pernah diterima menjadi undang-undang sejak awal.”

Baca Juga: KUMPULAN HARI INI 25 OKTOBER 2021: Buku Harian Seorang Istri hingga Dinda Syarif Dibully Karena Transgender

Sebelumnya, undang-undang tersebut telah disahkan pada Mei 2007 lalu, saat Majelis Nasional Kuwait mengamandemen hukum pidana untuk mengkriminalisasi gerakan “tidak senonoh” di depan umum dan meniru lawan jenis, bisa dihukum maksimal satu tahun penjara dan dikenakan denda.

Setelah tiga belas tahun berlalu, hal itu memunculkan kontroversi di luar perbatasan Kuwait, ketika influencer sebuah media sosial transgender Kuwait mempostingan serangkaian video Snapchat yang menuduh petugas polisi secara sewenang-wenang menahannya selama tujuh bulan di tahun 2019 lalu, berdasarkan Pasal 198. Ia mengatakan bahwa dirinya ditahan di penjara pria dan petugas memperkosa serta memukulinya.

“Semua ini karena aku trans?”, ucap wanita tersebut, Maha al-Mutairi, menangis di salah satu video, menuduh petugas polisi berulang kali melecehkannya karena “meniru lawan jenis,” meskipun ia telah mencoba untuk menuruti tuntutan mereka dengan memotong pendek rambutnya, mengikat payudaranya, serta menggunakan pakaian dishdasha, yang merupakan pakaian jubah putih tradisional yang biasanya dikenakan oleh pria di teluk.

Ia juga mengatakan, “Tuhan membuat saya seperti ini. Saya berharap bahwa saya merasa seperti seorang pria jauh di ubuk hati. Saya akan membayar semua uang di dunia untuk merasa seperti pria normal. Kenapa kau melakukan ini padaku?”

Video tersebut pun cukup untuk membuat Ms. Al-Mutairi dipanggilan oleh pihak berwenang Kuwait. Tetapi, mereka juga mendorong beberapa warga Kuwait untuk membelanya, hingga mengundang kecaman internasional terkait Pasal 198 tersebut.

Namun, pada bulan Oktober, mengutip Pasal 198 serta undang-undang telekomunikasi, pengadilan menjatuhkan hukuman dua tahun penjara dan denda kepada Ms. Al-Mutairi. Kemudian, ia dibebaskan dengan banding pada tahun lalu, menurut Human Rights Watch.

Baca Juga: Fasilitasi eKTP Transgender, Disdukcapil Tangsel: Bukan yang Banci

Tetapi, pada kasus Ms. A-Mutairi, serta transgender Kuwait lainnya, membantu untuk menggembleng aktivisme transgender di negara tersebut. Lalu, pengadilan konstitusi setuju pada bulan Desember untuk mendengar tantangan terhadap undang-undang tersebut.

Hak transgender bukannya tidak ada di wilayah Timur Tengah, otoritas Islam di Mesir dan Iran mengeluarkan fatwa pada 1980-an yang mengizinkan operasi transisi.

Meskipun orang-orang dengan transgender tidak secara khusu disebutkan dalam Al-Qur’an, beberapa cendekiawan Muslim telah menyarankan bahwa mereka hanya dilahirkan dalam tubuh yang salah.

Namun dalam praktiknya, bahkan transgender yang telah menjalani operasi mengalami kesulitan besar untuk mendapatkan pengakuan hukum atas identitas mereka.

Meskipun hanya Oman yang secara gambling melarang orang transgender mengekspresikan identitasnya, undang-undang sering ditafsirkan dengan cara yang memungkinkan pihak berwenang untuk menargetkan orang transgender.

Diskriminasi juga merajalela, karena waria Kuwait tidak mempunyai cara untuk mengubah jenis kelamin mereka yang sah, sebagian besar mengalami kesulitan mengakses perawatan kesehatan, perumahan, pekerjaan atau layanan yang memerlukan kartu identitas yang dimilikinya.

Baca Juga: Israel-UEA Semakin Erat, China Ditinggalkan?

Telah banyak wanita transgender berpakaian seperti pria dan menyembunyikan rambut mereka untuk menghindari pengawasan, tetapi masih menghadapi penangkapan hanya karena memiliki suara yang terdengar feminism atau kulit halus, menurut aktivis wanita transgender dan penelitian yang disusun oleh Human Rights Watch.

Tiga puluh sembilan dari empat puluh wanita transgender yang diwawancarai Human Rights Watch di Kuwait pada 2011 lalu, melaporkan telah ditangkap berdasarkan Pasal 198, beberapa di antaranya sebanyak sembilan kali.

Shaikha Salmeen, yang merupakan pengacara sekaligus aktivis yang menangani kasus al-Mutairi dan kampanye menentang Pasal 198, mengungkapkan keputusan terkait pembatalan undang-undang ini merupakan langkah “kea rah yang benar.”

Shaikha Salmeen juga mengatakan, “Itu inkonstitusional dan tidak ada yang bisa meragukan itu,” ia juga masih mengantisipasi reaksi dari kaum konservatif dan berkata, “Pertarungan balik mereka pasti akan sangat kejam.”***

Editor: Rizki Ramadhan

Sumber: The New York Times

Tags

Terkini

Terpopuler