Tradisi Nyarang Hujan Masyarakat Muslim di Banten, Sebuah Upaya Berkomunikasi Dengan Alam

14 September 2021, 13:36 WIB
Tradisi Nyarang Hujan Masyarakat Muslim di Banten /Youtube lokadataid

ZONABANTEN.com – Upacara keagamaan menjadi pokok-pokok penting sejak zaman dahulu. Banyak tradisi yang telah dikembangkan masyarakat lokal agar sesuai dengan syari’at agama.

Agama atau keyakinan telah menjadi sarana manusia untuk berkomunikasi dengan alam. Tetapi, tidak semua tradisi di Indonesia bertolak belakang dengan akidah keagamaan yang ada.

Manusia percaya akan adanya kekuatan ghaib, oleh karena itu manusia melakukan berbagai hal dan cara untuk bisa berkomunikasi dengan alam, salah satunya adalah Nyarang Hujan.

Tradisi Nyarang Hujan atau biasa dikenal dengan Pawang Hujan merupakan tradisi yang turun-menurun ada di masyarakat Muslim di Banten, khususnya di Cimanuk, Pandeglang, Banten.

Baca Juga: Setelah Uji Coba Rudal Korea Utara, Utusan Nuklir Terkemuka dari Jepang, AS, Serta Korea Selatan Bertemu

Nyarang Hujan bertujuan untuk menahan hujan untuk sementara waktu atau memindahkan hujan ke tempat lain. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan agar suatu acara bisa berjalan lancar dan hujan tidak turun.

Tradisi ini merupakan hasil akulturasi dari nilai-nilai keislaman dengan budaya lokal. Sebagian besar masyarakat Cimanuk percaya bahwa Allah lah pemilik segala kekuasaan untuk menurunkan dan menghentikan hujan.

Namun, harus tetap ada ikhtiar yang disebut dengan nyare’at agar keinginan bisa tersampaikan melalui do’a sang Pawang.

Bermacam-macam cara dan media yang dilakukan Pawang untuk melaksanakan ritual Nyarang Hujan.

Baca Juga: Hitung Mundur Asian Games 2022 Hangzhou Dimulai, Ini Daftar Cabang Olahraga yang Dipertandingkan

Antara lain adalah mengucapkan mantra atau doa, menggunakan rantang nasi dan sebuah payung hitam, puasa ngebleng, menggunakan sapu lidi terbalik yang ditancapi dengan bawang merah dan cabai merah, tidak mandi, berziarah ke makam leluhur, dan masih banyak lagi.

Namun yang pertama kali harus dilakukan tetaplah berziarah ke makam leluhur orang yang meminta bantuan tersebut.

Kemudian sepulang dari ziarah menyediakan sekepal nasi dan garam kasar lalu berdoa “Kun Fayakun, tidak jadi hujan, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”, dan sekepal nasi tersebut dibuang ke atas genteng pemilik hajat, dilanjutkan dengan niat yang susunan katanya diciptakan sendiri.

Energi-energi doa yang telah ditinggalkan leluhur diyakini akan menambah kemustajaban do’a kita. Selain itu banyak juga tirakat yang telah dilakukan sang Pawang sebelumnya, agar dapat berkomunikasi dengan alam.

Baca Juga: Google One Segera Rilis Paket Penyimpanan Baru Sebesar 5TB

Bisa jadi semakin banyaknya Pawang Hujan yang ada, membuat ‘perang’ antar Pawang terjadi. Ketika terjadi perselisihan hujan akan dipindahkan kemana.

Namun jika tidak ingin ada ‘perang’ maka harus ada kesepakatan hujan akan dialihkan ke daerah yang sama.

Untuk warga Pandeglang sendiri yang sering dilakukan adalah dengan media sapu lidi terbalik yang ditancapi dengan bawang dan cabe.

Sapu lidi ini sebagai sarana untuk menahan hujan agar acara memasak tetap lancar, karena urusannya dengan dapur maka perlambang yang digunakan dalam media perantara juga berhubungan dengan isi dapur.

Mengingat kebiasaan warga Pandeglang ketika hajatan akan menyiapkan masakan sendiri dalam jumlah yang besar dan memakai pekarangan terbuka.

Menurut persepi masyarakat Cimanuk, tradisi Nyarang Hujan ini adalah bentuk nyare’at atau ikhtiar bahwa kekuasaan dan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa tetaplah mutlak yang pertama, dan tidak berniat untuk menghentikan apa yang menjadi kehendak-Nya.

Hal lain dari tradisi Nyarang Hujan ini adalah diselipkannya bacaan-bacaan dari ayat suci Al-Quran yang menjadi bentuk bukti bahwa kekuasaan Tuhan tetap berada di atas segalanya.***

Editor: Bondan Kartiko Kurniawan

Sumber: ristekdikti.go.id

Tags

Terkini

Terpopuler