Profil Hoegeng Iman Santoso, Mantan Kapolri yang Dikenal Jujur dan Anti Suap

- 13 Oktober 2023, 13:35 WIB
Profil singkat Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri yang dikenal dengan kejujurannya dan karakternya yang menginspirasi banyak orang
Profil singkat Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri yang dikenal dengan kejujurannya dan karakternya yang menginspirasi banyak orang /@jenderalhoegeng/Instagram

ZONABANTEN.com – Profil Hoegeng Iman Santoso, mantan Kapolri yang dikenal jujur dan anti suap. Iman Santoso, atau yang akrab disapa Hoegeng ini adalah mantan Kapolri periode 1968-1971 yang namanya masih dikenang hingga saat ini. Hoegeng lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 14 Oktober 1921. Ia menikah dengan Meriyati Roeslani dan dikaruniai 3 orang anak. Nama Hoegeng dikenal banyak orang karena kejujurannya dan karakternya yang menginspirasi selama berkarier di dunia kepolisian Indonesia.

Beberapa hari sebelum Hoegeng dilantik sebagai Kepala Jawatan Imigrasi sekitar tahun 1960-an, sebagai pegawai negeri, ia berusaha menaati peraturan yang diterapkan pada sipil.

Salah satu aturannya adalah bahwa pegawai negeri dan keluarga tidak diperbolehkan berbisnis. Sementara, saat ia diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi, istrinya baru saja membangun toko bunga.

“Karena saya diangkat jadi Kepala Jawatan Imigrasi, maka saya meminta Mery supaya menutup perusahaan bunganya. Saya khawatir nanti orang jadi berbaik-baik pada saya dengan membeli bunya istri saya. Dan, Mery mengerti keputusan saya,” tuturnya dikutip dari Majalah Tempo edisi 22 Agustus 1992 dengan judul “Bertahan di Jalur Jujur”.

Setelah tiga tahun menjadi intel (Kepala Dinas Pengawasan Keselamatan Negara se-Jawa Timur—badan intel kepolisian kala itu) pada tahun 1955, Hoegeng ditugaskan ke Medan.

Saat itu ia berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP), dan menjabat sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal Kantor Polisi Provinsi Sumatera Utara.

Baca Juga: Jadwal Trans7 Hari Ini Rabu, 24 November 2021: Mata Najwa: Belajar Dari Hoegeng, Lapor Pak dan Krim Malam

Tiba di Pelabuhan Belawan, ia dan istri disambut oleh rekan-rekan dari kantor barunya. Namun, ada satu orang China yang tiba-tiba muncul, menyalami tangannya dengan erat dan membungkuk kepadanya.

Ia memperkenalkan diri sebagai ‘Ketua Panitia Selamat Datang’ yang dibentuk khusus untuk menyambut kedatangan Hoegeng. Hoegeng terheran-heran dengan kejadian tersebut.

Pria tersebut mengatakan bahwa pihaknya sudah menyiapkan rumah dan mobil untuk Hoegeng, dan akan mengantar Hoegeng ke rumah itu.

Namun, Hoegeng menolak dengan halus semua pemberian itu dan memilih untuk tinggal di Hotel De Boer yang telah dipesan oleh rekan kantornya, sebelum tinggal di rumah dinas di Jalan A. Rivai Nomor 26.

Keesekoannya, pria tersebut hadir di rumah dinasnya, dan sudah mengisi rumah tersebut dengan segala macam properti tanpa izin Hoegeng.

Lagi-lagi, Hoegeng menolak itu semua dan meminta agar perabotan tersebut segera diangkut kembali.

“Saya kasih waktu sampai jam dua. Kalau tidak dikeluarkan, saya suruh anak buah saya mengeluarkan barang-barang. Ternyata, hingga jam 2, barang-barang baru itu tetap di sana. Terpaksa saya menyuruh anak buah saya memanggil kuli untuk mengeluarkan barang-barang itu,” cerita Hoegeng dikutip dari autobiografi berjudul “Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan” tahun 1993.

Godaan lain datang pada Hoegeng dan keluarga. Kala itu, Mery menghubungi Hoegeng yang sedang berada di kantornya, mengatakan bahwa ada seseorang datang ke rumahnya. 

Seorang China Makassar itu datang ke rumah Hoegeng dan menyerahkan banyak hadiah. Setiba di rumah, Hoegeng membuka peti kayu besar, yang berisi banyak perabotan dan barang-barang mahal.

Baca Juga: Kapolri Sebut Polisi Netral dalam Tangani Konflik Sosial di Masyarakat

Peti itu ditutup oleh Heogeng, lalu dikirimkan kembali ke pengirimnya, karena orang itu sempat meninggalkan alamat rumahnya pada Mery.

Tak lama setelah hadiah itu dikembalikan, datang lagi sejumlah wanita asal Makassar, untuk meyakinkan Hoegeng bahwa hadiah itu bukanlah suap, melainkan tanda penghormatan padanya.

“Tak begini caranya. Saya tidak suka. Hadiah-hadiah itu saya kembalikan sebab wanita itu masih dalam perkara,” katanya. Diketahui, wanita tersebut merupakan tersangka kasus penyelundupan.

Hoegeng akhirnya membawa kasus wanita itu untuk diteruskan ke pengadilan, dan ia menerima vonis hukuman penjara.

Saat ia menduduki jabatan sebagai Kapolri, Hoegeng tak segan-segan turun ke bawah untuk mengatur lalu lintas.

Ia mengaku melakukannya dengan ikhlas, memberikan contoh teladan tentang motivasi dan kecintaan polisi akan tugasnya, sekaligus memberi peringatan secara halus pada bawahannya yang lalai atau malas.

Menurutnya, seorang polisi yang sedang mengenakan seragam, kewajiban resminya harus menjadi konkret atau nyata, karena masyarakat berhak menuntut ketertiban dan ketenteraman.

Hoegeng meninggal dunia pada 14 Oktober 2004 di usia 82 tahun. Saking terkenal dengan kejujurannya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sampai memiliki anekdot: “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yaitu polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng”.

Jasa dan sikapnya yang jujur tersebut masih dikenang dan menginspirasi bagi para polisi dan masyarakat Indonesia.***

Editor: Dinda Indah Puspa Rini

Sumber: aclc.kpk.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah