Demikian pula anak-anak disable, yang dibutuhkan bukan hanya pengurusan dan pelayanan dari suster tetap mereka juga mendambakan kehangatan pelukan orang tua kandungnya.
Mereka ingin bercanda dengan saudara-saudaranya seperti anak-anak lain. Bukan untuk diisolasi dan digabungkan dengan para anak-anak cacat lain.
Faham pragmatism betul-betul sangat kejam. Orang tua yang pernah dengan susah payah melahirkan, merawat, menyekolahkan, dan terus mendoakan anak-anaknya, setelah mereka berhasil dan dirinya sudah jompo, terpaksa harus “diusir” secara halus oleh anak-anaknya.
Nanti hari-hari minggu, sisa-sisa waktu di long weekend baru sesekali ditengok. Itupun sekejap karena keterbatasan ruang tamu di rumah jompo.
Sang anak disable seolah tidak lagi mengenal orang tuanya. Mereka lebih rindu kepada susternya ketimbang orang tuanya sendiri.
Orang tua dan anaknya saja diperlakukan seperti itu, apalagi orang lain?
Bukankah Al-Qur’an telah mengingatkan kita: فَأَيۡنَ تَذۡهَبُونَ (Maka kalian mau ke mana? (QS. al-Takwir/81: 26). Al-Qur’an juga mengingatkan kita:
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيۡرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقۡوَىٰۖ
“… Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa,” (QS. al-Baqarah/2: 197).
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ