Kewajiban manusia untuk menyembah Tuhan dan keharusan warga negara Indonsia menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya dan agama seharusnya liberalisme sulit tumbuh subur di bumi Indonesia.
Namun demikian, liberalisme memiliki banyak “topeng” yang bisa mengecoh setiap orang. Setiapkali pertimbangan rasio harus dikedepankan dan memaksa kelompok-kelompok sistem nilai lain untuk menyesuaikan diri maka sesungguhnya ini merupakan perwujudan liberalisme.
Liberalisme bisa meminjam bahasa agama, bahasa budaya, atau bahasa politik di dalam menjabarkan nilai-nilainya.
Liberalisme bisa bersembunyi di belakang HAM, kesetaraan jender, demokrasi, local wisdom, Tafsir, dan Ushul Fikih. Bahkan lebih rigis bisa menggunakan istilah teknis agama seperti konsep al-maqashid al-syari’ah dan al-mashlahat al-‘ammah.
Faham liberalisme beririsan dengan sekularisme, sebuah faham faham atau kepercayaan yang berpendirian bahwa paham agama tidak dimasukkan dalam urusan politik, negara, atau institusi publik.
Agama dianggap urusan privat sehingga tidak perlu dilibatkan di dalam ruang publik.
Bagi masyarakat bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, memberi ruang khusus kepada pemerintah atau negara mengatur urusan-urusan pemerintahan dan kenegaraan, tetapi tidak berarti para ulama dan pemimpin agama lainnya tidak boleh berbicara tentang urusan politik dan masyarakat.
Dalam berbagai ayat di dalam Al-Qur’an dijelaskan betapa tidak relevannya memperhadap-hadapkan antara urusan negara dan agama.
Ajaran Islam bersifat komperhensif tidak bisa dipilah-pilah, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱدۡخُلُواْ فِي ٱلسِّلۡمِ كَآفَّةٗ