Kesetaraan Gender, Pil Aborsi Akan Disetujui Penggunaannya di Jepang

23 April 2023, 12:12 WIB
Dari seruan isu kesetaraan gender, panel Kementerian Kesehatan Jepang setuju atas penggunaan pil aborsi /Shoko Takayasu/Bloomberg
 

 

ZONABANTEN.com - Selama sekitar 30 tahun, pil aborsi telah digunakan pada lebih dari 80 negara, mengingat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengesahkan pil sebagai salah satu metode yang paling aman. Sayangnya, hingga saat ini, satu-satunya akses untuk melakukan aborsi di Jepang yakni melalui prosedur pembedahan, yang diizinkan pada tahap awal kehamilan.

Namun, pada Jumat, 21 April 2023, panel Kementerian Kesehatan Jepang menyetujui pil aborsi pertama di negara itu. 

Di tengah-tengah seruan isu kesetaraan gender yang mencakup hak-hak reproduksi perempuan, pil aborsi tersebut dapat digunakan sebagai alternatif untuk prosedur pembedahan.

Kementerian Kesehatan mengumumkan langkah tersebut setelah panel sekunder atau untuk kedua kalinya meninjau 12.000 komentar publik yang dikumpulkan secara online. 

Langkah terakhir setelah adanya persetujuan ini tinggal menunggu persetujuan akhir dari Menteri Kesehatan, tetapi waktunya belum dapat dipastikan.

Direktur Institut Literasi Hak Kesehatan Reproduksi, Kumi Tsukahara menyambut keputusan tersebut sebagai hal positif.

Akan tetapi, ia juga memperingatkan bahwa obat tersebut bisa jadi tidak dapat diakses oleh beberapa orang.

Sebelumnya, pada Desember 2021, produsen obat Inggris Linepharma mengajukan persetujuan untuk paket pil Mefeego.

Baca Juga: Pemerintah AS Permudah Perempuan Akses Pil Aborsi Tanpa Harus ke Klinik

Di Januari, panel Initial Advisor atau Penasihat Awal Kementerian Kesehatan pun menyetujui produksi dan penjualan obat tersebut. 

Dalam uji klinis, 60 persen aborsi medis menggunakan paket pil Mefeego dikonfirmasi pada empat jam setelah dosis kedua, dengan angka mencapai 90 persen setelah delapan jam.

Kurang dari 10 persen kasus, aborsi tidak berhasil bahkan setelah 24 jam.

Pada awal April, Kementerian Kesehatan mengatakan sedang mempertimbangkan rencana untuk mewajibkan pasien menunggu hingga satu hari di rumah sakit sampai aborsi dikonfirmasi setelah pemberian pil kedua. 

Hal ini pun mendorong adanya persetujuan mengenai pil aborsi pada panel Kementerian Kesehatan pada Jumat lalu.

Di waktu yang sama, Pharmaceutical Affairs and Food Sanitation Council (PAFSC) membahas mengenai persetujuan pembuatan dan penjualan obat tersebut dalam bentuk paket. 

Paket pil yang akan diberikan oleh institusi medis mencakup dua jenis obat, mifepristone dan misoprostol, dan dimaksudkan untuk dikonsumsi secara oral (melalui mulut) dalam sembilan minggu pertama kehamilan.

Pemerintah juga akan bekerja untuk membuat panduan bagi para dokter dan memberikan informasi kepada masyarakat tentang obat tersebut.

Baca Juga: Gak Ngerti Lagi! Dua Pria Tega Membunuh Bayi dan Menjual Pil Aborsi Ilegal

Persetujuan atas pil tersebut di Jepang akan menandai kemajuan bagi hak-hak reproduksi perempuan, tetapi faktor perdebatan mengenai harga dan persetujuan pasangan mempengaruhi adanya keputusan ini.

Di antaranya, Mefeego tidak akan ditanggung oleh Asuransi Kesehatan Nasional Jepang.

Selain itu, perempuan diharuskan untuk menggunakan obat di bawah pengawasan medis, yang biayanya mungkin lebih besar daripada melakukan aborsi lewat prosedur pembedahan.

Harga grosir rata-rata pil aborsi di seluruh dunia diperkirakan sekitar 780 yen (sekitar Rp87.000) hingga 1.400 yen (sekitar Rp156.000), sedangkan, prosedur pembedahan untuk aborsi di Jepang menghabiskan biaya 100.000 yen (sekitar 11 juta rupiah) hingga 200.000 yen (sekitar 22 juta rupiah)

Dilihat dari harganya, hal ini dapat membuat kemungkinan besar pil aborsi tidak dapat digunakan oleh sebagian orang.

Faktor lainnya adalah Undang-Undang Kesehatan Ibu di Jepang, yang mengharuskan persetujuan pasangan untuk melakukan aborsi.

Dalam beberapa kasus, persetujuan pasangan itu dapat menghalangi pelaksanaan prosedur aborsi.

Meski demikian, Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa undang-undang mengenai persetujuan pasangan tersebut juga akan berlaku untuk penggunaan pil aborsi.

Baca Juga: Instruktur Mengemudi Wanita Arab Saudi Dianugerahi Penghargaan ‘Kesetaraan Gender’

Namun, persetujuan pasangan itu bisa menjadi pengecualian apabila terdapat situasi di mana suami tidak diketahui keberadaannya.

Undang-undang tersebut memang hanya berlaku untuk perempuan yang telah menikah dan tidak mencantumkan ketentuan untuk perempuan yang belum menikah.

Hanya saja, Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa persetujuan dari pasangan tidak diperlukan bagi perempuan yang belum menikah atau mereka yang menjadi korban pemerkosaan.

Meski begitu, banyak dokter yang meminta persetujuan pria karena kurangnya pemahaman dan ketakutan akan konsekuensi hukum.

Kasus-kasus seperti ini telah menyebabkan insiden tragis, seperti ketika seorang mantan siswa sekolah keperawatan berusia 21 tahun dijatuhi hukuman penjara yang ditangguhkan karena meninggalkan bayi yang baru dilahirkannya di toilet umum sebuah taman.

Di pengadilan, perempuan tersebut mengatakan bahwa rumah sakit membutuhkan persetujuan pasangan, tetapi ia tidak dapat memperolehnya.

Kejadian ini menyoroti keterbatasan hak-hak reproduksi di Jepang.

"Meskipun diskusi ini adalah tentang pengobatan, kita tidak boleh melupakan bahwa ini adalah masalah hak asasi manusia," kata Tsukahara.***

 

Editor: Dinda Indah Puspa Rini

Sumber: The Japan Times

Tags

Terkini

Terpopuler