Polemik Pembangunan Rumah Ibadah di Cilegon, Banten, Kemenag: Kepala Daerah Harus Memfasilitasi Jika...

9 September 2022, 14:20 WIB
Ilustrasi Gereja (Rumah Ibadah)/ddzphoto/pixabay.com / /

ZONABANTEN.com - Beberapa hari yang lalu, ramai pembicaraan publik terkait aksi penolakan pendirian Gereja di Cilegon, Banten.

Dalam aksi tersebut, Komite Penyelamat Kearifan Lokal yang mengatasnamakan unsur masyarakat Kota Cilegon, Banten menuntut anggota DPRD dan Walikota Cilegon, untuk menegakkan peraturan daerah terkait pendirian rumah ibadah selain masjid.

Wakil Walikota Cilegon, Sanuji Pentamarta, menerima sejumlah massa aksi dan mengambil sikap untuk menandatangani petisi kesepakatan bersama masyarakat untuk menolak pendirian rumah ibadah umat kristiani.

Baca Juga: KPID Banten Ultimatum Tindak Tegas Lembaga Penyiaran yang Melanggar Aturan

Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) akhirnya buka suara.

Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama Wawan Djunaedi mengharap semua kepala daerah, termasuk Wali Kota Cilegon Helldy Agustian untuk berupaya semaksimal mungkin memenuhi hak-hak konstitusi setiap penduduk, termasuk Hak Beragama dan Berkeyakinan.

Menurutnya, terkait pendirian rumah ibadah, sikap Kepala Daerah seharusnya merujuk pada Peraturan Bersama Menteri (PBM) antara Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

PBM tersebut mengatur bahwa pendirian rumah ibadah harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Selain itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi terkait pendirian rumah ibadah.

Pertama, daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat.

Kedua, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa. Ketiga, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota. Keempat, rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota.

Baca Juga: Jadwal BRI Liga 1 Pekan ke-9, Ada Laga Panas Arema Vs Persib dan PSM vs Persebaya!

Jika persyaratan pertama terpenuhi sedangkan persyaratan kedua belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadah.

“Jadi, tidak ada alasan apapun bagi kepala daerah untuk tidak memfasilitasi ketersediaan rumah ibadat ketika calon pengguna telah mencapai 90 orang,” tegas Wawan.

Wawan menegaskan, Kemenag mendorong Wali Kota untuk membentuk Desk Bersama yang terdiri atas kepala daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Kementerian Agama, pemuka agama, tokoh masyarakat, Forkompinda, dan ormas sebagai upaya pemecahan masalah.

Dia menilai, berbagai pihak perlu mendapatkan informasi yang sangat baik bahwa Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK1975 tanggal 28 Maret 1975 sudah tidak relevan lagi untuk dijadikan dasar penolakan pendirian gereja.

Pertama, kata Wawan, regulasi tersebut diterbitkan pada saat komposisi penduduk muslim daerah Cilegon sebesar 99%, sebagaimana disebutkan pada konsideran menimbang pada SK Bupati dimaksud. Sementara situasi kota Cilegon sekarang sudah berubah.

Berdasarkan data sensus BPS tahun 2010, kompisisi umat Kristen di Cilegon telah mencapai 16.528.513, sementara umat Katolik mencapai 6.907.873.

Baca Juga: 6 Fakta Ratu Elizabeth II Semasa Hidup, Sang Penguasa Monarki Inggris Terlama

Jumlah tersebut setara dengan 9,86%. Sementara komposisi umat nonmuslim secara keseluruhan mencapai 12,82%,” jelas Wawan.

“Bertumpu pada data jumlah penganut agama Kristen di atas, tentu ikhtiyar untuk pendirian rumah ibadah sudah memenuhi kebutuhan nyata,” sambungnya.

Kedua, konsideran menimbang SK Bupati tahun 1975 juga merujuk pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Nomor 1/BER/mdn-mag/1969 yang keberadaannya sudah dicabut dan digantikan dengan PMB Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

Dalam hukum, ada asas lex posterior derogat legi priori, yakni hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama.

“Yang berlaku saat ini adalah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006,” sebut Wawan.

Ketiga, SK Bupati tahun 1975, diterbitkan dalam konteks merespon Perguruan Mardiyuana sebagai bangunan, bukan rumah ibadah.

Sementara pada waktu itu, Perguruan Mardiyuana dipergunakan sebagai gereja. Oleh karenanya, penganut agama Kristen diarahkan untuk menunaikan ibadah di gereja-gereja yang ada di Kota Serang.

Wawan mengaku pihaknya sudah bertemu dan mendiskusikan persoalan ini dengan Wali Kota Cilegon pada April 2022. Kemenag mengimbau Pemerintah Kota Cilegon untuk memedomani Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.

“Kami juga juga mengajak FKUB sebagai lembaga kerukunan umat beragama dan seluruh komponen masyarakat untuk kembali berpegang pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” tandasnya.***

Editor: Rahman Wahid

Sumber: Kemenag

Tags

Terkini

Terpopuler