Baca Juga: Mengaku Kesal, Istri Bakar Suami di Ciputat Tangerang Selatan
Pramoedya Ananta Toer tidak akan pernah lupa atas apa yang yang dilakukan sepeleton tentara terhadap dia pada 13 Oktober 1965 petang.
Semua buku, naskah, dan dokumen yang ada di rumahnya di Rawamangun dibakar. Sebuah tindakan yang ia samakan dengan “perbuatan setan”.
“Pembakaran naskah tesebut adalah hal yang tidak akan pernah bisa saya maafkan,” kata Pramoedya Ananta Toer.
Pramoedya Ananta Toer diangkut ke dalam bak truk dan dipukul beberapa kali dengan popor senapan. Dari sel penjara, pada Agustus 1969,dia diasingkan ke Pulau Buru bersama ratusan tahanan politik lain. Di dalam kamp, ketika beroleh sedikit kelonggaran untuk mulai menulis, dia lagi-lagi mengalami perampasan naskah oleh petugas.
Pramoedya Ananta Toer tidak memiliki cukup waktu untuk membuktikan betul tidaknya kekhawatirannya tentang presiden dari militer. Dua tahun setelah Pilpres 2004, tepatnya 30 April 2006, sastrawan penerima Hadiah Magsaysay pada 1995 itu tutup usia.
Baca Juga: Kwik Kian Gie: Saya Satu Partai dengan Pak Jokowi, Tapi kan Tidak Harus Menjilat Terus
Tidak penting siapa yang jadi penguasa
Di atas sikap kerasnya terhadap militer, Pramoedya Ananta Toer melihat Indonesia dengan penuh kemuraman. Nyaris tanpa harapan. Kepada Andre dan Rossie, ia berkisah tentang kekayaan alam yang dijarah dan dicuri orang. Ia keluhkan impor gelap dan penyelundupan yang merenggut jutaan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
“Memang tidak penting siapa yang jadi penguasa, kondisi Indonesia yang sudah memprihatinkan ini tidak akan berubah,” ucapnya.