Biografi Singkat Chairil Anwar: Mengenang 100 Tahun Kelahiran ‘si Binatang Jalang’

26 Juli 2022, 11:41 WIB
Biografi Singkat Chairil Anwar untuk Memperingati 100 Tahun Kelahirannya/Instagram @chairilisme /

ZONABANTEN.com – Chairil Anwar dikenal sebagai ‘maestro’ dalam dunia kesusastraan Indonesia.

Dia lahir di Medan, Sumatera Utara pada 26 Juli 1922 dan merupakan putra dari pasangan asal Sumatera Barat, Toeloes dan Soleha.

Chairil muda gemar membaca dan mempelajari karya-karya dari sastrawan dunia, seperti Friedrich Nietzsche, Hendrik Marsman, Rainer Maria Rilke, dan Edgar du Perron.

Sehingga hal tersebut yang membuat hasrat dan minatnya dalam dunia kesenian, khususnya sastra mulai menetas.

Baca Juga: Melepas Sepatu dan Sandal Bisa Dapatkan Nilai Ibadah, Kok Bisa? Ini Penjelasan Buya Yahya

Dirinya mulai menulis sajak yang berhubungan dengan kehilangan, cinta, perjuangan, hingga pemberontakan diri.

Pada tahun 1942, Chairil Anwar menulis sajak duka berjudul “Nisan” yang didedikasikannya untuk sang nenek yang telah berpulang.

Namun ketika dia mengirimkan sajak tersebut dan kumpulan sajaknya yang lain yang dilabeli “Kerikil Tajam” ke majalah Panji Pustaka, sajak-sajaknya ditolak karena dinilai terlalu individualistis.

Kemudian terdapat salah satu sajak Chairil Anwar yang terkenal yaitu sajak berjudul “Aku,” yang ditulisnya pada 1943.

Dalam sajak “Aku,” Chairil menyebut dirinya sebagai ‘Binatang Jalang,’ yang kala itu mendapat pertentangan dari beberapa rekan senimannya di pusat kebudayaan karena dianggap terlalu kasar.

Baca Juga: Bolehkah Memotong Kuku dan Menjahit di Malam Hari? Dianggap Pamali Ternyata Ini Hukumnya dari Buya Yahya

Namun dari sanalah, Chairil Anwar dianggap sebagai pelopor Angkatan ’45 sebagai aliran kesusastraan baru dalam sastra Indonesia.

Selain itu, perjalanan cinta ‘si Binatang Jalang’ juga mempengaruhi sajak-sajaknya.

Beberapa wanita yang pernah singgah di hati Chairil Anwar di antaranya Ida Nasution, yang namanya kerap ditulis Chairil dalam sajaknya, sebut saja “Ajakan,” dan “Merdeka.”

Chairil juga menuliskan sajak lainnya yang menyiratkan tentang Ida walau namanya tidak tertulis di dalamnya, yang berjudul “Bercerai.”

Lalu Sri Arjati, seorang pelukis yang dijumpai Chairil di pusat kebudayaan. Chairil menulis tentang Sri Arjati  dalam sajaknya yang berjudul “Hampa” dan “Senja di Pelabuhan Kecil.”

Baca Juga: Sejatinya Doa Kita Selalu Dikabulkan oleh Allah, Berikut Penjelasan Ustadz Abdul Somad

Saat Chairil Anwar tinggal di rumah Sutan Sjahrir, yang merupakan kerabat dari ibunya, Chairil jatuh hati pada Dien Tamaela, seorang gadis berdarah Maluku yang dikenalnya dari Des Alwi, anak angkat Bung Hatta. Chairil pun menulis tentang Dien dalam sajaknya yang berjudul “Cerita Buat Dien Tamaela.”

Berpaling dari Dien, Chairil Anwar bertemu dengan Sumirat, adik dari jaksa yang membantu Chairil saat dirinya ditangkap oleh polisi Jepang karena kedapatan mencuri kain seprai di rumah seorang Indo-Belanda.

Chairil Anwar cinta mati kepada Mirat. Dia nekat menyusul Mirat ke kampung halamannya di Paron, Jawa Timur.

Namun karena kehidupannya sebagai penyair yang bebas dan tidak memiliki pekerjaan tetap, membuat orangtua Mirat tidak menyetujui hubungan mereka.

Chairil pun terpaksa meninggalkan Mirat. Beberapa sajak yang ditulis Chairil tentang Mirat, di antaranya,”Sajak Putih,” “Dengan Mirat,” dan “Mirat Muda, Chairil Muda” dengan lirik ikoniknya yang berbunyi, “Adakah, adakah kau selalu mesra dan aku bagimu indah?”

Baca Juga: Termasuk Kim Min Kyu dan Song Kang, 6 Artis Pria Korsel Ini akan Jalani Wajib Militer, Fans Siap Ditinggal?

Perjalanan cinta Chairil tidak berhenti pada Mirat. Saat dirinya sedang mengungsi ke Karawang  pasca kembalinya tentara NICA ke Indonesia, Chairil bertemu dengan Hapsah.

Setelah beberapa lama berkenalan, Chairil pun menikahi Hapsah dan dikaruniai putri bernama Evawani Alissa.

Dia memiliki julukkan untuk istrinya, yaitu ‘Gajah’ karena Hapsah memiliki postur tubuh yang gemuk.

Kehidupan pernikahan mereka berjalan manis. Namun menjelang akhir tahun 1948, mereka berpisah.

Chairil kembali pada rutinitasnya menulis dan menerjemahkan sajak. Kemudian pada pertengahan tahun 1949, tepatnya di bulan April, Chairil Anwar jatuh sakit yang membuatnya harus dirawat di CBZ (RS Cipto Mangunkusumo).

Baca Juga: Jadwal Pelayanan SIM Keliling Kota Tabanan Bali Hari Ini, Selasa 26 Juli 2022

Hingga pada 28 April 1949, Chairil Anwar pun menghembuskan napas terakhirnya dan dikebumikan di Pemakaman Karet Bivak, Jakarta.***

Editor: IDHY ADHYANINDA SUGENG MULYANDINI

Tags

Terkini

Terpopuler