Pro Kontra Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan di Mata Beberapa Pihak: Bisa Beri Efek Jera vs Fokus pada Korban

7 April 2022, 19:37 WIB
Pro Kontra Vonis Hukuman Mati Herry Wirawan di Mata Beberapa Pihak: Bisa Beri Efek Jera vs Fokus pada Korban /

ZONABANTEN.com - Herry Wirawan, pelaku pemerkosa 13 santri divonis hukuman mati oleh pengadilan negeri Bandung pada Senin, 4 April 2022 lalu.

Sorak gembira dan puas dari pada warganet pun lantas terlihat dengan mudah di jagat maya setelah vonis tersebut.

Namun, pro kontra justru timbul di jajaran pengamat, pihak penting, dan beberapa lembaga terkait vonis mati Herry ini.

Baca Juga: PSI Soroti Kisruh Pasar Ciputat, Disperindag Tangsel Harus Prioritaskan Pedagang Lama

Seperti pro kontra terkait apakah vonis hukum mati Herry ini bisa memberi efek jera pada pelaku tindak kejahatan seksual lainnya di Indonesia atau tidak.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Ace Hasan Syadzily menyetujui atas putusan hakim untuk mengukum mati pelaku pemerkosa 13 santri tersebut.

Dirinya berharap bahwa dengan adanya vonis hukuman mati terhadap Herry ini bisa menjadi pelajaran bagi siapa pun agar tidak melakukan kekerasan seksual, terutama pada anak-anak.

“Hukuman bagi Herry Wirawan sudah sangat berat. Kami berharap dengan hukuman ini menyadarkan dirinya bahwa perbuatannya itu membuatnya insyaf dan memberikan efek jera bagi yang lainnya,” kata Ace Hasan pada Selasa, 5 April 2022 dikutip dari ANTARA.

Dengan dijatuhkannya vonis hukuman mati ini, Ace berharap bahwa hal ini dapat membantu memberi efek psikologis dalam konteks pemulihan bagi para korban.

Ia berharap vonis tersebut dapat memberikan ‘trauma healing’ sehingga mereka merasa bahwa ada keadilan di sini.

Baca Juga: Jadwal Sholat dan Imsakiyah untuk Wilayah Jawa Tengah, Jumat 8 April 2022

Pakar hukum pidana dari Universitas Jendral Soedirman, Prof Hibnu Nugroho juga mengeluarkan pernyataan yang senada.

“Saya sepakat itu (vonis mati) karena bisa memberi efek jera atau mencegah adanya pelaku-pelaku lain maupun potensi-potensi seperti itu, tutur Prof Hibnu.

Namun, kontra pun datang dari sisi Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) yang menyatakan bahwa vonis hukuman mati ini tidak akan memberikan efek jera kepada pelaku.

LBHM juga menyayangkan bahwa yang harusnya dilakukan negara adalah berfokus pada pemulihan dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

“Vonis mati yang dijatuhkan kepada Herry Wirawan, yang diklaim sebagai efek jera sesungguhnya merupakan ilusi,” tutur Koordinator Kasus LBHM Yosua Octavian.

Yosua menganalogikan pada kasus hukuman mati terkait narkotika yang terjadi pada rentang waktu tahun 2017 hingga 2021.

Baca Juga: Beli 76 Video Porno Dea OnlyFans, Marshel: Hanya Niat Bantu dalam Ekonomi

Ia menjelaskan bahwa sepanjang 2017 hingga 2021 ada sebanyak 367 hukuman mati bagi terdakwa, dan 279 di antaranya adalah kasus hukuman mati terkait narkotika.

“Namun, kendati vonis mati, kasus narkotika tetap tinggi dan tidak menyurutkan peredaran gelap narkotika,” ucap Yosua menjelaskan.

Maka dari itu, Yosua bersama LBHM menilai bahwa vonis hukuman mati yang dijatuhkan pada pelaku pemerkosa 13 santri ini tidak tepat.

LBHM justru menilai bahwa hal ini menjadi pertanyaan terkait peran negara dalam memberikan perlindungan dan ruang aman bagi para korban kekerasan seksual. Sebab, perlindungan dan ruang aman ini semakin sulit didapatkan.

Yosua juga menyinggung terkait pasal 67 KUHP yang dirasa tidak dipertimbangkan oleh hakim, yang mana pasalnya melarang penjatuhan pidana lain kepada terdakwa yang dijatuhi hukuman mati atau pidana seumur hidup.

Kekhawatiran Yosua terkait adanya pasal 67 KUHP ini juga disetujui oleh ICJR (Institute for Criminal Justice Reform).

Pernyataan Yosua dan peneliti ICJR, Maidina Rahmawati, berkaitan dengan kekhawatiran bila terdakwa Herry dan pihaknya memutuskan mengajukan banding.

Baca Juga: Brand Ambassadornya Nikahi Son Ye Jin, TOM FORD Ucapkan Selamat kepada Hyun Bin

Bila Herry mengajukan banding, masa pasal 67 KUHP bisa menjadi masalah. Sebab, dirinya tidak akan bisa diberi hukuman tambahan lainnya setelah vonis hukuman mati dan penjara seumur hidup telah dikeluarkan.

Maidina menilai bahwa ini yang menjadi kesalahan dalam putusan hakim di tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal telah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan.

Senada dengan Yosua, Maidina juga menilai bahwa fokus utamanya harus pada korban, bukan pada pelaku. 

Dan ia mengungkapkan bahwa tidak ada satu bukti ilmiah yang menyatakan bahwa hukuman mati dapat memberi efek jera, termasuk pada kasus pemerkosaan.

“ICJR memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Meski demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama pada pemberian keadilan bagi korban,” tutur Maidina.

Maka, pernyataan Maidini ini bertentangan dengan pernyataan Prof Hibnu yang seakan memberikan pandangan bahwa vonis mati ini bisa menaruh kepercayaan publik.

Baca Juga: Jadwal Buka Puasa Ramadhan 2022 Kota Padang dan Sekitarnya: 5 Ramadhan 1443 H, Kamis 7 April 2022

Sedangkan, Maidina menyayangkan bahwa fokusnya menjadi seperti menjawab keresahan publik dan menghukum keras pelaku, bukan memberi perlindungan pada korban.

“Saya kira, hakim, jaksa, harus (berpikir dan bertindak secara( out of the box, sehingga masyarakat betul-betul keadilannya tercapai, keadilan terpenuhi,” tutur Prof Hibnu.

Ia menambahkan bahwa, “Kadang-kadang dari aspek hukum, keadilan tidak sampai memberikan rasa adil dalam masyarakat, kalau ini (vonis mati) saya kira memberikan keadilan.”

Lantas seruan kontra atas vonis hukuman mati untuk Herry ini keluar dari mulut Komnas HAM.

Ketua Komnas HAM RI, Taufan Damanik mengatakan bahwa pihaknya menilai korban menjadi pihak utama yang harus diperhatikan oleh negara dan pemerintah. Hal ini senada dengan pernyataan Yosua dan Maidina sebelumnya.

Maka dari itu, Komnas HAM berupaya penuh untuk mendorong adanya restitusi dan rehabilitasi bagi korban.

Taufan menyadari harus ada perbaikan sistem dan peraturan mengenai perlindungan serta rehabilitas bagi korban.

Baca Juga: Ikuti Sooyoung dan Taeyeon, Tiffany Young Konfirmasi Rencana Untuk Ulang Tahun Ke-15 SNSD

Sebab, sejauh ini peraturan fokus pada pelaku dan pencegahan kekerasan seksual.

Hal tersebut tentu benar dan tepat, namun negara dan pemerintah diharap untuk turut membenarkan sistem dan peraturan yang berpihak pada perlindungan dan rehabilitas korban kekerasan seksual.

Seperti bagaimana Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga sepakat dengan putusan hakim guna memberi restitusi yang dibebankan kepada pelaku.

“Kami mengapresiasi putusan banding Hakim Pengadilan Tinggi Bandung yang menurut kami sudah sesuai dengan UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan harapan masyarakat,” ucap Menteri PPPA.

Seperti diketahui, Herry telah melakukan tindak pelecehan seksual atau pemerkosaan pada 13 santrinya dalam rentang waktu 2016 hingga 2021.

Korban-korbannya adalah gadis berusia 12 dan 16 tahun. Bahkan, delapan di antaranya sudah dihamili oleh pelaku.

Pada bulan Februari lalu, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan kota Bandung. Namun, jaksa penuntun mengajukan banding untuk pemberian hukuman mati bagi pelaku. Dan banding tersebut diterima dan diputuskan oleh hakim pada Senin lalu.

Baca Juga: Kantongi Izin Satgas, PTM 100 Persen di Banten Dilaksanakan Mulai 7 April

Selain hukuman mati, harta dan aset Herry juga akan dirampas untuk memenuhi biaya kehidupan dan pendidikan para korban dan bayi mereka kelak.***

Editor: Bayu Kurniya Sandi

Sumber: Antara News

Tags

Terkini

Terpopuler