Bram Fischer, Pengacara Komunis yang Berani Membangkang

- 23 Februari 2024, 16:22 WIB
Bram Fischer, seorang pengacara komunis yang berani membangkang.
Bram Fischer, seorang pengacara komunis yang berani membangkang. /themissingsync.nl

ZONABANTEN.com - Dari tahun 1948-1994, Afrika Selatan dipimpin oleh ras minoritas, yakni ras kulit putih. Hal ini terjadi karena Partai Nasional Afrika Selatan pada saat itu meraih kemenangan dalam Pemilihan Umum. Sejak saat itulah Partai Nasional yang dipimpin D.F Malan menguasai politik Afrika Selatan.

Keberhasilan tersebut membuat Partai Nasional menjadi partai yang paling mendominasi kehidupan politik Afrika Selatan pada saat itu. Mereka menerapkan politik pemisahan ras dimana ras kulit putih dapat bermukim di kota, sedangkan ras kulit hitam dan non-putih lainnya bermukim di pinggiran Afrika Selatan. 
 
Pemisahan ini terjadi karena kaum kulit putih di Afrika Selatan meyakini bahwa bila orang hitam berkuasa, mereka akan dihabisi. Oleh sebab itu, Partai Nasional merepresentasikan ketakutan kaum Afrikaner dan memperjuangkan apartheid yang tentunya menjadi landasan konstitusional pemisahan ras. 
 
Untuk memastikan dan melanggengkan kekuasaan Partai Nasional, kaum kulit putih di Afrika Selatan melakukan segalanya untuk berkuasa seperti melarang kaum non-putih menjadi anggota dewan atau memegang jabatan di pemerintahan, melarang kaum non-putih untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum, dan lain-lain. 
 
 
Rezim Apartheid juga melarang beberapa organisasi politik seperti Kongres Nasional Afrika (ANC), Pan Africanist Congress (PAC),  Partai Komunis Afrika Selatan (SACP), dan Serikat Buruh Afrika Selatan. Rezim Apartheid menggunakan Undang-Undang Penindasan Komunisme untuk melawan organisasi-organisasi tersebut. 
 
Dari Apartheid ini, terlahir beberapa tokoh seperti Nelson Mandela. Pada tahun 1963, presiden berkulit hitam pertama Afrika Selatan tersebut diadili di pengadilan. Proses pengadilannya dikenal dengan nama rivonia trial. Saat itu, dia didukung oleh aeorang pengacara berkulit putih dengan nama Bram Fischer.
 
Bram Fischer merupakan pengacara yang mendukung Nelson Mandela, Walter Sisulu, Ahmad Kathrada, dan anggota-anggota ANC lainnya yang diduga terlibat dalam aksi sabotase melawan pemerintah kulit putih tersebut. Di rivonia trial ini, Nelson Mandela dan kawan-kawannya di ANC nyaris dikenakan hukuman mati, namun hal itu dapat dicegah Bram Fischer.
 
Bram Fischer sendiri merupakan seorang Afrikaner. Dilansir dari beberapa Sumber, kakeknya sempat menjadi Presiden Orange County Colony. Ayahnya merupakan judge president (hakim ketua) di daerah yang sama. Dengan ini, Bram dapat dengan sangat mudah naik posisi di dalam sistem politik Afrika pada saat itu.
 
 
Pada tahun 1920-an, ia pertama kali menjabat tangan seorang pria berkulit hitam. Hal ini ia ucapkan saat diadili pada tahun 1966 karena terbukti mendukung Komunisme. "Saya sekarang mengerti bahwa prasangka berdasarkan ras merupakan suatu fenomena irasional, dan bahwa pertemanan antar manusia dapat melampaui batas ras sekalinya prasangka ras tersebut dihilangkan," katanya.
 
Sejak berusia remaja, ia menjadi seorang atheis. Awalnya secara diam-diam, namun akhirnya hal tersebut menjadi rahasia umum. Sejak berusia 23 tahun, ia memutuskan untuk menentang pemisahan ras. Pada usia yang sama ia, berhasil mendapatkan beasiswa ke Oxford, dan ia tidak hanya menjelajahi Eropa, namun juga Uni Soviet. 
 
Pada tahun 1935, ia mulai bekerja sebagai pengacara di Johannesburg, dan pada tahun tersebut pula ia menjadi anggota Partai Komunis Afrika Selatan.
 
Pada tahun 1955, Bram tidak bisa bergabung dengan Parlemen Rakyat karena dia pada saat itu dilarang. Sejak saat itu pula rezim Apartheid semakin menyadari akan keberaniannya yang menyebabkannya menjadi target daripada Unit Khusus Polisi Afrika Selatan. 
 
 
Pada tahun 1963, ia membela Mandela dalam rivonia trial. Sehari setelahnya, Fischer mengalami sebuah kecelakaan yang menyebabkan istrinya meninggal. Hal ini melahirkan kedukaan di dalam hatinya. 
 
Setahun setelah rivonia trial, Fischer mendekam di penjara, namun ia berhasil bebas dikarenakan ia memiliki kasus penting di Inggris. Beberapa kalangan menginginkannya untuk menetap di Inggris saja, namun ia menolak, dan langsung pulang ke Afrika Selatan untuk menghadiri persidangan. 
 
Penangkapannya pada tahun 1964 membuatnya berpikir untuk beraksi di bawah tanah, namun hal itu membuatnya merasa kesepian. Sejak tahun 1966, ia mendekam di penjara dan mendapatkan hukuman seumur hidup. Namun status tersebut diubah menjadi hukuman tahanan rumah karena kondisinya memburuk akibat kanker. Ia lalu meninggal pada tanggal 8 Mei 1975. ***
 

Editor: Rismahani Ulina Lubis

Sumber: theconversation.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x