10 Fakta Sisi Gelap Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, Penyebab Perang Saudara hingga Pembunuhan

- 20 Januari 2022, 20:23 WIB
10 Fakta Sisi Gelap Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, Penyebab Perang Saudara hingga Pembunuhan
10 Fakta Sisi Gelap Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, Penyebab Perang Saudara hingga Pembunuhan /Instagram/@mbsalsaud1

ZONABANTEN.com - Sisi gelap Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman akan diungkap melalui 10 fakta yang diulas dalam artikel ini.

Pangeran Mohammed bin Salman ternyata memiliki catatan hak asasi manusia (HAM) yang buruk, meski dia dipuji banyak orang sebagai reformis progresif.

Sisi gelap Mohammed bin Salman kini terus disorot media internasional sejak dia diangkat menjadi putra mahkota oleh ayahnya, Raja Salman pada 2017.

Baca Juga: Wanita Umbar Aurat Seksi Diizinkan Putra Mahkota Arab Saudi, Warga: Saya Merasa Senang

Dia memang telah banyak melakukan reformasi ekonomi dan sosial di Kerajaan Arab Saudi yang dikenal konservatif tersebut.

Ribuan kematian warga sipil dalam perang saudara di Yaman hingga pembunuhan mengerikan jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi menjadi fokus sisi gelapnya.

Berikut 10 fakta sisi gelap Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman yang tak bisa dilupakan dunia internasional.

1. Penyebab perang saudara di Yaman

Arab Saudi melakukan intervensi dalam perang saudara di negara tetangga, Yaman dengan menargetkan kelompok pemberontak Houthi. Koalisi pimpinan Arab Saudi-UEA ini mendapat dukungan logistik dari Amerika Serikat.

Baca Juga: Selama 20 Tahun Hilary Duff Baru Sadar Ada ‘Kode Aneh’ Dalam Film Cadet Kelly

Perang saudara itu sudah menewaskan puluhan ribu orang, membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal, dan menyebabkan terjadinya kelaparan. Mohammed bin Salman malah mendukung kebijakan negaranya itu.

"Dalam setiap operasi militer, kesalahan terjadi. Tentu saja, kesalahan apa pun yang dibuat Arab Saudi atau koalisi adalah kesalahan yang tak disengaja," ucapnya kepada Time pada April 2018.

"Kita tidak perlu memiliki Hizbullah (kelompok Lebanon yang didukung Iran) baru di semenanjung Arab. Ini adalah garis merah tidak hanya untuk Arab Saudi tapi untuk seluruh dunia," kata Mohammed bin Salman.

2. Memaksa pengunduran diri PM Lebanon

Pada November 2017, mantan Perdana Menteri (PM) Lebanon, Saad Hariri dipanggil untuk bertemu Raja Salman di Riyadh, Arab Saudi. Tapi, dia malah ditahan pasukan keamanan dan telepon genggamnya disita.

Baca Juga: Gak Ngerti Lagi! Dua Pria Tega Membunuh Bayi dan Menjual Pil Aborsi Ilegal

Sehari kemudian, dia mengundurkan diri dari jabatannya secara langsung di saluran televisi milik Arab Saudi. Peristiwa itu memicu kemarahan di Lebanon, karena Arab Saudi dianggap telah menculik perdana menteri mereka.

Presiden Lebanon Michel Aoun menolak menerima pengunduran diri itu dan meminta perdana menterinya dibebaskan. Lucunya, Saad Hariri malah menuduh Iran dan Hizbullah. Bahkan, dia bertahan di Riyadh selama dua minggu.

Meskipun menyangkal semua tuduhan bahwa telah memaksa Saad Hariri untuk mengundurkan diri atau menahannya di Arab Saudi, Mohammed bin Salman tetap dituding sebagai salah satu pemain kunci di balik peristiwa aneh itu.

3. Memenjarakan aktivis hak asasi perempuan

Beberapa aktivis didominasi perempuan ditangkap hanya beberapa minggu sebelum Arab Saudi mengizinkan kaum perempuan untuk mengemudi pada 2018. Mohammed bin Salman disanjung atas keputusannya mencabut larangan itu.

Baca Juga: Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed Bin Salman Sebut Turki Sebagai Negara Islam Garis Keras! Ini Alasannya

Namun, Human Rights Watch (HRW) mengkritik penangkapan para aktivis yang sebenarnya telah memperjuangkan itu. Mereka menyebut Mohammed bin Salman telah menunjukkan ketidaksukaannya pada kritik terhadap pemerintahannya.

"Pesannya jelas bahwa siapa pun yang mengekspresikan skeptisisme tentang agenda hak putra mahkota akan menghadapi hukuman penjara," ucap Direktur Timur Tengah HRW, Sarah Leah Whitson pada saat itu.

Mohammen bin Salman malah membela diri terkait penangkapan tersebut. Dia berdalih beberapa dari mereka yang ditangkap memiliki hubungan dengan badan intelijen asing dan telah mencoba untuk mengkhianati Arab Saudi.

4. Mengusir duta besar negara sahabat

Pada Agustus 2018, Arab Saudi mengusir Duta Besar Kanada dari Riyadh, membekukan perdagangan dengan negara Amerika Utara itu, dan memerintahkan semua pelajar mereka di di Kanada untuk pulang.

Baca Juga: Tabligh Akbar Disebut Gerbang Masuknya Terorisme Oleh Putra Mahkota Arab Saudi, Kok Bisa?

Tindakan itu membalas desakan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau agar para aktivis HAM yang ditangkap di Arab Saudi dibebaskan. Hasilnya, hubungan diplomatik kedua negara ini pun memanas.

Sebelumnya pada November 2017, Arab Saudi juga pernah menarik duta besarnya dari Berlin, Jerman, dan menolak akreditasi duta besar negara tersebut di Riyadh. Itu menyusul kritikan keras dari Jerman.

Saat itu, mantan Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengkritik Arab Saudi dengan menyebut penahanan Saad Hariri sebagai 'petualangan' di Timur Tengah dan campur tangan dalam politik internal Lebanon.

5. Menahan saingan politik di hotel mewah

Sejak jadi putra mahkota, Mohammed bin Salam tak hanya menindak aktivis HAM, tapi juga saingan politiknya. Pada 2017, pasukan keamanan Arab Saudi menahan ratusan orang kaya di negara itu dengan alasan pemberantasan korupsi.

Mereka dikurung selama berminggu-minggu di hotel mewah Ritz-Carlton di Riyadh. Laporan New York Times menyebut 17 orang harus dirawat karena mengalami kekerasan fisik. Bahkan, satu orang meninggal dalam tahanan.

Menurut para ahli, Mohammed bin Salman telah melakukan 'pembersihan' untuk menyingkirkan orang-orang yang berpotensi menimbulkan ancaman politik. Arab Saudi juga menyita kekayaan mereka dengan alasan kasus korupsi.

Baca Juga: Sadis! Mohammed bin Salman Eksekusi 133 Orang Sejak Jadi Putra Mahkota Arab Saudi, Benarkah Dia Psikopat?

Mahjoob Zweiri, profesor di Universitas Qatar menyebut ini sebagai bagian dari rencana Mohammed bin Salman untuk mengkonsolidasikan kekuatan ekonomi dan politik di Arab Saudi, dengan menghancurkan kerajaan ekonomi lainnya.

6. Memblokade Qatar

Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi dengan dukungan UEA, Bahrain dan Mesir memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Mereka memberlakukan blokade diplomatik dan perdagangan terhadap negara tetangga tersebut.

Menurut laporan The Intercept, rencana blokade juga mencakup aspek militer, dengan pasukan Arab Saudi dan UEA menyerang Qatar. Namun, blokade itu tidak menghasilkan apa-apa selain membagi enam anggota Dewan Kerjasama Teluk.

Berdasarkan informasi yang diterima dari anggota komunitas intelijen Amerika Serikat dan dua mantan pejabat Departemen Luar Negeri, blokade itu didorong oleh Mohammed bin Salman dan Putra Mahkota UEA Mohammed bin Zayed Al Nahyan.

Mohammed bin Salman akhirnya mundur setelah tekanan dari mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Rex Tillerson, yang khawatir invasi tersebut akan merusak hubungan jangka panjang mereka dengan negara-negara Timur Tengah.

7. Eksekusi mati meningkat

Selama beberapa tahun terakhir sejak Mohammed bin Salman menjadi Putra Mahkota Arab Saudi, jumlah eksekusi di kerajaan itu telah meningkat tajam, menurut organisasi HAM internasional, Reprieve dan Amnesty International.

"Dalam delapan bulan setelah dia diangkat menjadi putra mahkota, 133 orang dieksekusi. Mohammed bin Salman telah mengawasi eksekusi rata-rata 16 orang per bulan sejak pengangkatannya," kata Reprieve pada Maret 2018.

Baca Juga: Holly Madison: Playboy Mansion Seperti Sekte Sesat

Amnesty International juga mengutuk penggunaan hukuman mati yang menonjol di Arab Saudi. Mereka menuduh negara itu menggunakan hukuman tersebut sebagai cara untuk menahan kritik dari minoritas Syiah di Arab Saudi.

Ketika mendapatkan pertanyaan terkait hal itu dalam wawancara dengan The Economist pada 2016, Mohammed bin Salman berdalih dengan menekankan bahwa semua yang dieksekusi telah melalui tiga lapisan sistem peradilan.

8. Pembunuhan Jamal Khashoggi

Pada 2 Oktober 2018, jurnalis Arab Saudi Jamal Khashoggi memasuki Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Turki untuk mengambil dokumen perceraian dengan mantan istrinya. Namun, sejak itu dia tidak pernah ditemukan lagi.

Setelah 18 hari menyangkal, Arab Saudi mengakui wartawan itu tewas, diduga dalam perkelahian dengan pejabat konsulat. Namun, pihak berwenang Turki mengklaim korban telah dibunuh oleh regu pembunuh negara Arab Saudi.

Baca Juga: Hati-hati! Keseringan Duduk Bisa Tingkatkan Risiko Pembekuan Darah, Berikut Penjelasannya

Jamal Khashoggi sebelumnya pernah jadi penasihat anggota keluarga Kerajaan Arab Saudi. Namun, kemudian dia menjadi pihak nomor satu yang mengkritik program reformasi Mohammed bin Salman, sehingga membuatnya tak disukai.

Dalam wawancara dengan media Amerika Serikat, CBS, Mohammed bin Salman membantah memerintahkan pembunuhan itu. Tapi, dia bertanggung jawab penuh, karena itu dilakukan oleh orang yang bekerja untuk pemerintah Arab Saudi.

9. Penyebab serangan pabrik minyak Aramco

Pada 14 September 2019, sebuah serangan membakar dua pabrik minyak raksasa di Arab Saudi milik Aramco. Serangan itu menyebabkan lumpuhnya setengah dari produksi minyak kerajaan, dan lima persen dari produksi minyak global.

Arab Saudi mengatakan Iran bertanggung jawab, namun dibantah oleh pejabat negara tersebut. Pemberontak Houthi di Yaman akhirnya mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, meski tidak diketahui apa senjata Iran digunakan.

Baca Juga: Terlahir Tampan, Inilah Potret Hwang In Yeop Saat Kecil dan Dewasa yang Masih Menawan

Beberapa kritikus Arab Saudi menuding kebijakan luar negeri Mohammed bin Salman yang agresif terhadap Iran dan keterlibatan dalam perang di Yaman menjadi penyebab mereka kini mendapatkan serangan.

Kritik terhadap sang pangeran di antara anggota keluarga penguasa dilaporkan meningkat. Serangan itu juga memicu kekhawatiran di antara beberapa tokoh keluarga Al Saud yang berkuasa atas kemampuan putra mahkota dalam memimpin.

10. Gelombang baru penahanan

Pada Maret 2020, beberapa media Amerika Serikat melaporkan penahanan dua anggota senior keluarga penguasa Al Saud, Ahmed bin Abdulaziz, dan Mohammed bin Nayef, putra mahkota sebelum disingkirkan Mohammed bin Salman.

The Wall Street Journal melaporkan penyisiran itu meluas hingga mencakup puluhan pejabat kementerian dalam negeri, perwira senior militer, dan lainnya. Mereka semua diduga terlibat dalam mendukung upaya kudeta.

Baca Juga: Ingat 4 Cara Ini Jika Kamu Ingin Cari Teman Atau Pasangan Lewat Media Sosial, Atau Memulai Hubungan LDR

Para analis menyebut penahanan tersebut menandai tindakan keras terbaru oleh Mohammed bin Salman dalam upaya untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Bahkan, ini dinilai langkah yang lebih kejam dan lebih penting dari pada selama ini.

"Saya pikir dia menunjukkan bahwa dia tidak boleh diremehkan. Dia mendekati dengan cara yang jauh lebih keras dan lebih agresif," ucap Roxane Farmanfamaian, dosen politik Timur Tengah di Universitas Cambridge.***

Editor: Bunga Angeli

Sumber: Aljazeera


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x