Akademisi Sumsel : PSBB di Palembang dan Prabumulih “agak” Terlambat

13 Mei 2020, 17:50 WIB
Idham Cholid, SE.,ME., Dosen STIE MDP Palembang /

ZONABANTEN.com - Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menyetujui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di 2 kota di Sumatera Selatan, yaitu Kota Palembang dan Prabumulih.

Namun hal ini mendapat respon “biasa saja” dari salah satu akademisi di Kota Palembang, Idham Cholid.

Baca Juga: Kota Palembang dan Prabumulih Sumatera Selatan Diijinkan Terapkan PSBB

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) MDP Palembang ini menganggap kebijakan PSBB tersebut sudah “agak” terlambat.

Mengapa hal ini dianggap terlambat ? Apa konsekuensi dari PSBB sendiri ? Berikut kutipan wawancaranya.


Kebijakan PSBB di Palembang dan Prabumulih sebenarnya “agak” terlambat, karena wacana pemberlakuan PSBB ini sudah lama di “sounding” namun mungkin baru bisa terealisasi beberapa hari kedepan.

Mungkin  dikarenakan banyak pertimbangan dan persiapan yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak aspek yang harus diperhatikan, semisal keamanan, supply barang dan distribusi bantuan sebagai konsekuensi dari kebijakan PSBB ini.

Baca Juga: Kantor Perwakilan BI Sumsel Serahkan Bantuan Penanggulangan COVID-19

Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Dari sisi ekonomi, tentunya ini akan berdampak - terutama kelompok sektor informal - seperti pedagang kaki lima, pengusaha makanan dan industri kecil lainnya. Belum diterapkan saja, banyak sekali masyarakat mengeluhkan turunnya daya beli konsumen, apalagi nanti jadi (efektif) diterapkan.

Pembatasan sosial mengakibatkan orang tidak leluasa melakukan konsumsi dan cenderung menahan untuk konsumsi.

Jika ada sebagian yang menyatakan bahwa bisnis sekarang bisa dilakukan melalui online (tidak perlu interaksi dengan pembeli langsung), namun tidak semua sektor (khususnya informal) yang dapat memanfaatkan saluran ini. Selain itu, juga perlu diperhatikan supply terhadap kebutuhan pokok. 

Baca Juga: Alex Noerdin Serahkan Bantuan Bagi Warga yang Terkena Banjir di Sumsel

Mendengar PSBB, maka ada ketakutan dari masyarakat terhadap persediaan barang makanan. Hal ini jika tidak segera diantisipasi akan menimbulkan “panic buying”, seperti pada masa-masa awal wabah Covid terjadi. Pemerintah perlu mengantisipasi hal ini, karena pada beberapa kasus, PSBB (bahasa globalnya “Lock Down”) ini menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Selain itu, konsep bantuan sosial yang diberikan semasa penerapan PSBB juga perlu diperhatikan. Apakah terbayangkan dengan bantuan beras yang hanya beberapa kilo (5-10 kilo / KK), minyak goreng, mie instan, sarden dan lainnya cukup untuk 14 hari kedepan?

Karena dengan PSBB masyarakat cenderung tidak dapat mencari penghasilan atau paling tidak berkurang penghasilannya. Belum lagi sistem pembagiannya yang pada beberapa tempat cenderung tidak terorganisir dengan baik. Boleh kita menyebutnya salah sasaran, akibat data yang tidak sinkron dengan kondisi di lapangan.

Baca Juga: Belasan KK di Pagedangan Tak Dapat Bansos, Warga: Yang Nerima Pada Bawa Motor

Pemerintah harus memastikan permasalahan-permasalahan ini bisa diminimalisir, karena Pemerintah Kota Palembang dan Kota Prabumulih dapat belajar dari penerapan PSBB di daerah atau tempat lain.

Selain dari sisi ekonomi, yang perlu juga diperhatikan adalah masalah sosial. Membatasi ruang gerak manusia yang sejatinya adalah mahluk sosial bukan perkara yang mudah. Banyak contoh di lokasi lain, bagaimana masyarakat tidak disiplin dalam penerapan kebijakan PSBB ini. Bahkan, Presiden Jokowi berpendapat bahwa ada beberapa lokasi yang penerapan PSBB-nya tidak efektif.

PSBB sebenarnya dilakukan untuk menekan interaksi masyarakat, namun banyak tempat justru tidak ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan setelah penerapan PSBB. Belum lagi kondisi gangguan sosial yang mungkin saja akan timbul di masyarakat. Misalkan permasalahan kriminal dan lainnya. Hal ini juga perlu diantisipasi pemerintah.

Baca Juga: Ada Pesan Rahasia Ganjar Untuk Gibran Saat Serah Terima Bantuan Covid

Selain itu, sebelum penerapan PSBB, masyarakat kota Palembang sebagian sudah banyak yang melakukan work from home (WFH). Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa untuk saat ini, WFH tidak berkorelasi positif dengan produktifitas, atau kalau bahasa vulgarnya adalah dengan WFH produktifitas menjadi menurun.

Banyak faktor yang mungkin menjadi penyebabnya. Misalnya terbatasnya infrastruktur yang menunjang, lamanya periode WFH (orang menjadi cenderung “bosan”, dan belum terbiasanya orang kita bekerja dengan pola WFH.

Malah, ada beberapa kelompok masyarakat di Kota Palembang yang sudah lebih dari 2 bulan menjalankan WFH, dan saat ini cenderung mengalami penurunan produktifitas.

Baca Juga: Pelanggar Di Bekasi Malah Emosi Ditegur Petugas Saat Razia PSBB

Satu hal lagi yang perlu diperhatikan terkait PSBB ini. Kota Palembang adalah pusat aktifitas pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, pusat bisnis dan industri terbesar di Sumatera Selatan dan pusat pertemuan orang dari berbagai tempat. Jangan sampai dengan penerapan PSBB ini justru mengurangi pelayanan umum kepada masyarakat.

Di sisi lain, saat ini justru pemerintah pusat cenderung “melonggarkan” pembatasan pergerakan manusia. Ini akan menjadi kendala sendiri. Jangan sampai orang Palembang sudah patuh untuk social distancing, tapi justru arus manusia dari luar banyak yang masuk ke Palembang. Hal ini tentunya akan membuat kebijakan PSBB menjadi kurang efektif.***

 

Baca Juga: Zaman Work From Home, Kerja Nyambi Ini Bisa Dapatkan Penghasilan

Editor: Bondan Kartiko Kurniawan

Tags

Terkini

Terpopuler