Perkembangan Pers di Indonesia: Dari zaman kolonial hingga zaman Modern.

- 10 Februari 2024, 00:35 WIB
Perkembangan Pers di Indonesia: Dari zaman kolonial hingga zaman Modern.
Perkembangan Pers di Indonesia: Dari zaman kolonial hingga zaman Modern. /
 
ZONABANTEN.com -  Pers merupakan pilar dari demokrasi. Dimana Pers bebas, maka disitulah ada demokrasi.Hal ini dikarenakan dengan adanya media cetak atau online yang bebas, maka terdapat check and balances yang lebih terasa, dan masyarakat luas dapat mengkritisi setiap perbuatan merugikan dan memuji setiap perbuatan baik dari pemerintah. 
 
Namun terdapat suatu pertanyaan, mengapa dinamakan Pers? Pers dinamakan Pers Karena menurut Hikmat dan Purnama Kusumaningrat Pers berasal dari Bahasa Belanda yang artinya mengepres atau menekan. 
 
Di dalam Bahasa Belanda,"Pers"  merupakan serapan dari  sebuah kata dalam  Bahasa Inggris yakni kata "Press" yang berarti menekan. Hal ini dikarenakan pada zaman dahulu kala, para pembuat surat kabar menekan huruf-huruf ke dalam sebuah kertas.
 
Sebuah alat penekan huruf pertama kali ditemukan di Tiongkok, sebelum akhirnya dikembangkan oleh Gutenberg di Jerman. Sejak tahun 1400 an, pengusaha-pengusaha Jerman dan Italia sudah memberitahukan berita-berita terkini mengenai bisnis.
 
Berita-berita baru dirangkum ke dalam sebuah kertas menggunakan alat penekan pada tahun 1600 an. Contoh-contoh yang paling pertama adalah surat kabar Messrelationen yang menggubris mengenai kejadian-kejadian penting dalam Frankfurter buchmesse.
 
 
Koran pertama di dunia adalah koran koran "Relation aller fürnemmen und gedenckwürdigen".  Koran tersebut diterbitkan secara seminggu sekali. Namun sebelum tahun 1600 an, Pemerintah kota Venesia sudah mulai merangkum "Notifikasi tertulis" yang dapat dibeli dengan harga 1 "gazzetta" yang pada saat itu merupakan mata uang Venezia. Ini bisa dikatakan pemberitaan pertama yang lebih mirip dengan Jurnalisme atau koran pada zaman sekarang. Seperti kami ketahui kata tersebut sudah memiliki arti yang berbeda, sebab "gazzetta" dalam Bahasa Italia sekarang berarti koran. 
 
Dari Eropa, pers mulai memasuki Indonesia sejak tahun 1743. Pada saat itu Pers dibawa oleh orang-orang Belanda ke Jakarta yang pada saat itu bernama Batavia. Pada saat itu, koran-koran hanya berbahasa Belanda hingga hanya dapat dikuasai oleh orang-orang Belanda saja. Koran pertama di Indonesia adalah Bataviasche Nouvelles. Koran tersebut berkembang pada masa VOC. 
 
Seluruh surat kabar di Hindia Belanda pada saat itu beredar dalam Bahasa Belanda hingga tahun 1855 dimana Bromartani pertama kali beredar dalam Bahasa Jawa, dan pertama kali terbit di Surakarta pada 25 Maret 1855. Suratkabar ini ditemukan oleh Pakubuwana VII. Bromartani merupakan surat kabar pertama yang beredar dalam Bahasa Selain daripada Bahasa Belanda. 
 
Semenjak saat itu, pers mulai beredar dalam Bahasa-bahasa lokal. Pada masa setelah Koran Bromartani beredar koran-koran lain yang menyuarakan kemerdekaan dan membahas mengenai politik. Hal ini tentu membuat Belanda tidak betah, dan membuat pemerintah Kolonial mengeluarkan Persbreidell-Ordonantie  1931 yang dimuat dalam Staatsblad 1931. Ordonnantie ini diterbitkan pada tanggal 7 September 1931. Dalam Ordonnantie tersebut menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh bertindak bila terdapat surat kabar yang dianggap mengganggu ketertiban umum. 
 
 
Namun di dalam segala kesulitan ini, beberapa tokoh pemuda seperti Adam Malik, Albert Manumpak Sipahutar, Soemanang, dan Kartawiguna mendirikan kantor berita Antara. Mereka membentuk Antara karena merasa tidak puas dengan pemberitaan pemerintah kolonial melalui surat kabar Aneta.  
 
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) terdapat 2 surat kabar baru, yakni Domei dan Kyodo. Surat kabar Domei menjadi surat kabar utama yang memberitakan arah kebijakan pemerintah Jepang,sedangkan Kyodo merupakan surat kabar utama Jepang untuk menyebarkan propaganda Jepang.
 
Indonesia akhirnya merdeka pada 1945. Namun setelah itu, Indonesia harus berperang melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan. Pada 9 Februari 1946, para Jurnalis kumpul di Surakarta untuk membahas gerakan sekutu. Pada tanggal tersebutlah Persatuan Wartawan Indonesia didirikan, namun sejarah PWI tidak berawal dari situ. Sejarah PWI berawal pada tahun 1914 dimana didirikan Indlandsche Journalisten Bond yang didirikan untuk mengadvokasi hak wartawan Pribumi pada masa pemerintah kolonial.
 
Belanda akhirnya hengkang dari Indonesia pada tahun 1949. Setelah itu kedaulatan Indonesia diakui Belanda. Lima tahun kemudian, tepatnya pada 1954, pasal Pembredeilan yang tertera pada Ordonantie  1931 akhirnya dicabut Soekarno. Namun hal ini tidak memastikan kemerdekaan Pers. 
 
 
Kemerdekaan Pers masih terbelenggu, hal ini dikarenakan Soekarno pada masa jabatannya melakukan ratusan tindakan anti pers, salah satu korban diantaranya adalah koran Merdeka,dan koran Indonesia Raya yang ditemukan oleh Mochtar Lubis, dan Harmoko. Mochtar Lubis dan Harmoko lah merupakan dua sosok wartawan yang paling ditakuti Soekarno, yang menyebabkan Soekarno membredel Merdeka dan Indonesia Raya beberapa kali. 
 
Setelah masa Soekarno yang dikenal dengan Demokrasi Terpimpin, lahirlah masa Orde Baru yang menggunakan istilah demokrasi Pancasila. Orde Baru dipimpin oleh seorang Jenderal bernama Soeharto, yang berkuasa dari 1966-1998 alias 32 tahun. 
 
Pada masa Orde baru ini dikenal istilah "dicabutkan izin usahanya". Hal ini tentu merupakan pembredelan secara halus. Tindakan ini tentu melanggar ketentuan UU 1 1966 mengenai Pers dimana pada pasal 4 menyebutkan bahwa tidak akan ada tindakan penyensoran atau pembredelan pers. 
 
Dalam kurun waktu 32 Tahun, pemerintah orde baru sudah melakukan aksi pembredelan sebanyak 14 kali. 
 
Orde Baru tumbang 1998, setelah itu terjadi masa reformasi. Pada 1999, BJ Habibie mengeluarkan UU 40 1999 mengenai Pers. Dalam UU tersebut pemerintah dan masyarakat wajib mendukung kebebasan pers dan melindungi para jurnalis dari jeratan hukuman bila perlu. 
 
 
Namun hal ini tidak memungkirkan fakta bahwa masih banyak kasus intimidasi terhadap wartawan. Hal ini disebabkan karena ketidak pekaan publik terhadap UU 40 1999 dan kealpaan pemerintah dalam kasus ini. Salah satu contohnya adalah kasus 2014 dimana seorang Jurnalis dimasukan ke dalam penjara hanya karena membuat karikatur ISIS yang dimana terdapat sebutan nama Tuhan. Hal ini dapat terjadi karena ketidak pekaan Publik dan kelalaian pemerintah.
 
Pers di Indonesia masih butuh banyak perbaikan, dan perkembangan, dan dalam hal ini dibutuhkan keterlibatan pihak pemerintah dan publik.***

Editor: Bayu Kurniya Sandi

Sumber: pji.uma.ac.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x