Pramoedya Ananta Toer, Kisah Suram Bangsawan di Masa Penjajahan dan Rezim Otoriter

- 22 September 2020, 14:14 WIB
PRAMOEDYA Ananta Toer/DOK. PR
PRAMOEDYA Ananta Toer/DOK. PR /

ZONABANTEN.com – Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Di usia 81, Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia. tepatnya tanggal pada 30 April 2006.

Pramoedya Ananta Toer semasa hidupnya dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia.

Pramoedya Ananta Toer telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 42 bahasa asing.

Baca Juga: Update Sebaran Corona Global 22 September 2020, Kian BANYAK! 31.490.644 Terinfeksi

Bila kita membaca karya Pramoedya Ananta Toer berarti kita mengikuti perjuangan politik Indonesia melalui penjajahan dan rezim otoriter pascakolonial.

Karya-karyanya yang paling terkenal adalah empat novel yang secara kolektif dikenal sebagai The Buru Quartet.

Novel Bumi Umat Manusia, Anak Segala Bangsa, Jejak dan Rumah Kaca, mengikuti kehidupan seorang bangsawan kecil Jawa bernama Minke dan penghinaan yang dialaminya saat negaranya mengalami penjajahan.

Baca Juga: Cek Syaratnya, Pendaftaran Peserta Kartu Prakerja Gelombang 10 Siap Dibuka

Diresapi dengan sejarah dan pengalaman pribadi, karya Pramoedya membahas diskriminasi yang dialami di bawah pemerintahan kolonial melalui penggambaran yang intim dari cerita individu.

Seperti dikutip dari theculturetrip.com, asal-usul cerita ini sendiri merupakan prestasi luar biasa karena diselesaikan selama 15 tahun penahanan Pramoedya.

Beliau sudah menjadi penulis mapan sebelum dipenjara dan karya politiknya yang semakin kritislah yang membuatnya menjadi sasaran pemerintah.

Baca Juga: Waspada! Cuaca Ekstrem Selama Pancaroba Terjadi di Wilayah Ini

Oleh karena itu, para penculiknya secara khusus menolak dia menulis alat sebagai bagian dari hukumannya.

Tidak gentar, dan takut dia tidak akan pernah bisa lagi menulis, Pramoedya menyusun tetraloginya secara lisan, menceritakan kisah itu secara angsuran kepada pendengar sesama tahanan, selama satu setengah dekade di penjara.

Mengingat keadaan di mana Pramoedya membuat cerita-cerita ini, ada kritik yang berbeda terhadap rezim Suharto yang tersirat dalam tulisan-tulisan ini.

Baca Juga: Hadapi Banjir di Jakarta, Personel Damkar Disiagakan

Sementara novel-novel tersebut mengeksplorasi aspek-aspek kemanusiaan yang lebih gelap.

Pesan Pramoedya pada akhirnya adalah pesan yang positif, keyakinan pada belas kasih, martabat, dan potensi umat manusia untuk menjadi hebat dalam menghadapi kesulitan yang luar biasa.

Meskipun Pramoedya dibebaskan pada 1979, baru pada 1999 larangan menulis dan bepergiannya dicabut.

Baca Juga: Empat Orang Diperiksa Polisi, Buntut kaburnya Terpidana Mati Asal China Dari Lapas Kelas I Tangerang

Sejak saat itu hingga kematiannya pada tahun 2006, Pramoedya tak henti-hentinya menulis dan mengajar di seluruh dunia, memperoleh pengakuan internasional sebagai tokoh sastra dan aktivis politik.

Buku Exile (2006) adalah wawancara panjang Pramoedya dengan jurnalis André Vitchek dan Rossie Indira selama tahun-tahun terakhir hidupnya ketika dia tidak lagi bisa menulis sendiri.

Wawancara tersebut bertindak sebagai otobiografi penulis Indonesia dan memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan tokoh luar biasa ini dan karya-karya yang ia ciptakan dalam menghadapi penyensoran, pemenjaraan, dan pengasingan.***

Editor: Bondan Kartiko Kurniawan

Sumber: theculturetrip.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x