Namun, syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di bawah raja.
Apabila syahwat dan amarah menguasai akal atau nalar maka kerajaan terancam runtuh. Sebab susunan “kekuasaan” tak terjalan menurut kontrol seharusnya.
Syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat buruk seperti rakus atau tamak.
Sementara amarah yang tak terkendali akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan semena-mena.
Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati (qalb). Akal memang memiliki potensi yang istimewa: berpikir, berimajinasi, menghafal, dan lain-lain.
Bila ia bertindak liar maka potensi akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat mungkin.
Kalau kita pernah mendengar kalimat “orang pintar yang gemar minterin (memperdaya) orang lain, maka itu tak lain akibat akal bertolak belakang dengan nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.
Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya perjuangan keras dalam olah rohani (mujahadah) demi proses pembersihan jiwa atau tazkiyatun nafs.
Jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang member petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkahnya. Fiman Allah SWT dalam surah Al-Ankabut ayat 69: