Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad al-Ghazali dalam kitabnya Kimiyatus Sa’adah mengatakan, bahwa mengenal diri (ma’rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah SWT.
Logikanya sederhana: diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita; bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah SWT?
Sebagaimana postulat ulama “man ‘arafa nafsah faqad ‘arafa rabbah” (siapa yang mengenal dirinya, ia mengenal Tuhannya). Dalam Surat Fusshilat ayat 53 juga ditegaskan:
سَنُرِيهِمْ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلْءَافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar.”
Tentu saja yang dimaksudkan Imam al-Ghazali di sini lebih dari sekadar pengenalan diri secara lahiriah: seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya.
Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain.
Baca Juga: Naskah Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Menjaga Kerukunan di Masyarakat
Lebih dalam dari itu semua, yang dimaksud dengan “mengenal diri” adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar: Siapa aku dan dari mana aku datang?
Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?