Dari Jeruji ke Jeruji demi Menentang Pemisahan, Nasib Kehidupan Wartawan kulit Hitam di Afrika Selata

- 17 Februari 2024, 00:00 WIB
Ilustrasi pria kulit hitam.
Ilustrasi pria kulit hitam. /pixabay.com/Leroy_Skalstad
 
ZONABANTEN.COM - Menjadi wartawan seringkali merupakan tugas yang sulit. Membuat sebuah wawancara, bertemu dengan narasumber, dan menghubungi narasumber tidaklah Mudah. Terutama di dalam suatu rezim yang keji, seperti Apartheid, yang menindas kaum Non-Putih.  
 
Apartheid merupakan era dimana seseorang yang tidak berkulit Putih, tidak akan mendapatkan hak ekonomi, Politik, Pendidikan, dan Sosial yang sama, di Afrika Selatan dari tahun 1948 hingga 1994. Mereka yang tidak berkulit Putih, seringkali menjadi subjek terhadap perlakuan yang tidak Manusiawi. 
 
Hal ini juga dirasakan oleh para Wartawan-wartawan yang tidak berkulit Putih, atau yang berkulit Putih, namun menentang pemerintahan Apartheid. Hal ini dibuktikan dalam beberapa penelitian, salah satunya Penelitian yang dilakukan oleh William A. Hachten dalam jurnalnya yang berjudul "Black Journalists under Apartheid"  terbitan tahun 1979. 
 
Di dalam penelitian ini, William membeberkan beberapa hal, seperti fakta bahwa seorang Wartawan berkulit Hitam atau wartawan-wartawan lain yang tidak berkulit Putih, tidak mampu menikmati kebebasan yang dinikmati oleh wartawan kulit Putih. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan ekonomi, dan Pers. "Wartawan berkulit Hitam atau wartawan yang tidak berkulit Putih lainnya, seringkali menjadi Subjek Penangkapan Polisi" tulis Hachten dalam penelitiannya. 
 
 
Namun, meski mereka menjadi subjek penindasan dan penangkapan, keterlibatan mereka sangatlah penting dalam dunia Jurnalisme Afrika Selatan. Konon dikabarkan bahwa, Populasi Afrika Selatan semakin tertarik pada koran-koran berbahasa Inggris pada tahun 1970 an. 
 
Hal ini tentunya menjadi penentu dunia Jurnalisme Afrika Selatan, sebab, pada saat itu, sedikit sekali koran-koran yang beredar dalam Bahasa Inggris. Mayoritas koran hanya beredar dalam Bahasa Afrikaans (bahasa Belanda versi lama) karena itu merupakan Bahasa yang digunakan kaum Kulit Putih. 
 
Pada saat itu, Afrika Selatan didambakan menjadi negara dengan kebebasan Pers tertinggi di benua Afrika, namun nyatanya di Afrika Selatan saat itu hanya terdapat 23 lembaga pemberitaan, dan dalam perhitungan tersebut, koran-koran yang dimiliki oleh orang-orang Non-putih, tidak dihitung. Hal ini menyebabkan Afrika selatan menjadi negara yang kekurangan lembaga pemberitaan pada saat itu. 
 
Hal ini terbukti menjadi sangat vital, karena hanya wartawan-wartawan berkulit non-putih lah yang pada saat itu mampu menggubris cerita yang sulit. Seperti kisah mengenai kerusuhan Soweto di tahun 1976. " Tanpa keberanian dan kegigihan dari para wartawan berkulit Hitam, dunia Tidak akan mengetahui apa yang terjadi di Soweto 1976"  tutur editor Daily Rand Mail, Percy Qoboza kepada Washington Post.
 
 
Pada pertengahan tahun 1970 an, Wartawan Non-putih mulai diperbolehkan bekerja di berita-berita wartawan-wartawan berkulit  Putih, tetapi meskipun terdapat perubahan progresif, wartawan non-putih masih tidak bisa menikmati kebebasan ekonomi sebesar kolega mereka yang berkulit Putih. 
 
Hal ini membuat banyak wartawan muda yang berkulit hitam marah, terutama setelah kerusuhan Soweto 1976. Banyak wartawan berkulit Hitam ditahan, dan dipenjara karena kegiatan reportase mereka pada saat itu. Banyak yang dipenjara di bawah Undang-Undang Terorisme. 
 
Salah satu wartawan yang terdampak adalah Mugabe. Ia tidak ditahan, namun ia mendapatkan larangan bekerja. Ia sempat dianggap sebagai orang terlarang selama lima tahun. Ia mendapatkan larangan untuk memasuki sebuah gedung dengan mesin cetak. Ia dilarang melakukan kegiatan Jurnalistik, dan diwajibkan untuk selalu melaporkan diri kepada Polisi. 
 
Pada saat bekerja, ia sempat merasakan perihnya peluru sebuah pistol, sakitnya pukulan Polisi, dan kameranya sempat ditilang oleh Polisi. Pembredelan yang terparah terjadi pada bulan Oktober 1977 dimana editor the world, Percy Qoboza, dan editor Weekend World, Aggrey Klaaste harus merasakan dinginnya kehidupan di belakang jeruji, karena melakukan reportase mengenai Steve Biko.
 
 
 Donald Woods, editor East London Daily dispatch yang kebetulan juga merupakan teman Steve Biko, ditarik keluar dari Pesawat yang akan terbang menuju Amerika Serikat, dan diberi Hukuman 5 tahun penjara. 
 
Ini tentu mendeskripsikan betapa sengsaranya kehidupan wartawan pada era Apartheid. Namun Afrika Selatan sudah menjadi negara yang demokratis sejak 1994. Sejak 1997, Afrika Selatan resmi memiliki konstitusi  baru, yang menjamin kebebasan berpendapat.***

Editor: Bayu Kurniya Sandi

Sumber: sagepub.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x