Ramai Kasus Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual Oleh Oknum Tenaga Pendidik, Para Ahli Sarankan Ini

- 15 Desember 2021, 22:17 WIB
Foto Ilustrasi Kasus Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual Oleh Oknum Tenaga Pendidik dapat dicegah.
Foto Ilustrasi Kasus Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual Oleh Oknum Tenaga Pendidik dapat dicegah. /Pexel.com/Rodnae Production

 

ZONABANTEN.com – Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh oknum tenaga pendidik masih menjadi momok bagi masyarakat Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun terakhir.

Ironisnya, kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh oknum tenaga pendidik tersebut terjadi dalam institusi yang semestinya mampu memberikan rasa aman dan edukasi moral yang baik kepada para siswa.

Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual oleh oknum tenaga pendidik tersebut juga  mengindikasikan semakin sempitnya ruang aman publik, terutama bagi perempuan dan anak-anak.

Catatan Komnas Perempuan memperlihatkan, pada Tahun 2020 di Indonesia terdapat 962 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah Komunitas.

 Baca Juga: Ahn Bo Hyun Dikonfirmasi Gantikan Peran Kim Seon Ho di Film '2 O'Clock Date'

Diantara 962 kasus tersebut, 52 kasus kekerasan seksual dilakukan oleh tenaga pendidik dengan rincian Guru (28 kasus), Dosen (9 kasus), dan Guru mengaji (15 Kasus).

Laporan tersebut menjelaskan bahwa korban mengalami diskriminasi berlapis baik karena usia, jenis kelamin dan relasi kuasa antara tenaga pendidik dan peserta didik.

Dalam hal ini disebutkan, korban berada pada posisi tidak berkuasa, karena pelaku memiliki otoritas keilmuan dan wewenang dalam agama.

 Charol Shakeshaft, Profesor bidang Educational Leadership di Virginia Commonwealth University mengingatkan tentang karakteristik dari predator seks yang melancarkan aksinya dalam lingkungan pendidikan.

 Baca Juga: Rusia Ancam Luncurkan Rudal Nuklir Jarak Menengah ke Negara-negara Eropa

Menurutnya, Guru yang melakukan kekerasan seksual adalah mereka yang sering dikagumi para siswa dan mendapat kepercayaan dari para orangtua.

Tidak hanya itu, menurut Shakeshaft predator seks ini dikenal baik dan popular di mata masyarakat dan negara.

Ia mengingatkan, popularitas dan nama baik predator seks ini justru memanipulasi orangtua, masyarakat atau pejabat negara, sehingga membuat mereka akan beranggapan tidak mungkin orang sebaik itu melakukan perbuatan tercela.

Hambatan lain yang menjadikan kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan sulit terungkap, karena minimnya pengawasan dan sikap tidak berani melapor dari kalangan internal institusi pendidikan tersebut.

 Baca Juga: Mengejutkan! Siswa SMA Korea Selatan Sebut Musim Dingin Sebagai Musim Operasi Plastik

Shakeshaft pernah mewawancarai Guru disebuah institusi pendidikan yang pernah terjadi kekerasan seksual, mereka mengaku telah mencurigai kasus tersebut, namun tidak berani melapor karena khawatir kecurigaannya salah.

Menurut Shakeshaft, salah satu alasan mereka tidak melapor karena jika dugaannya salah maka akan merusak nama baik Guru lainnya.

“Saya belum pernah mendengar seorang rekan berkata, “Jika saya tidak melapor dan orang ini melakukan pelecehan, saya akan menghancurkan kehidupan seorang siswa.” Kata Shakeshaft.

Hasil studi diatas setidaknya bisa membantu mengingatkan publik, khususnya perempuan, anak-anak dan orangtua tentang karakteristik umum dari predator seks di lingkungan pendidikan, agar tidak mudah terpedaya.

 Baca Juga: 4 Makanan Ini Harus Dihindari Oleh Penderita Asam Urat

Bagaimana Mencegah Predator Seks?

Meski perilaku predator seks ini umumnya sulit terungkap, namun hasil studi empiris Shakeshaft memberikan beberapa panduan yang bisa dipelajari agar kejahatan ini bisa dicegah, hal yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Jangan Tertipu Nama Baik dan Reputasi Seseorang

Seperti yang sudah diingatkan diatas bahwa masyarakat, orangtua dan bahkan korban kekerasan seksual sendiri sering tertipu dengan nama baik, kewibawaan dan status sosial seorang tenaga pendidik.

Hal ini akan mendorong para orangtua dan korban tidak mencurigai sama sekali tentang perilaku mereka yang menyimpang.

Hal ini justru akan mempersulit suatu kejahatan seksual terungkap, jadi disarankan setiap orangtua, para murid, mahasiswi untuk tetap waspada dan berhati-hati terhadap siapapun.

  1. Pengawasan yang Ketat Oleh Internal Institusi Pendidikan

Pencegahan ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan sikap aktif dan pengawasan oleh otoritas internal suatu institusi pendidikan terhadap perilaku yang tidak wajar atau yang memungkinkan suatu kekerasan seksual bisa terjadi.

Hal ini penting, mengingat pengawas internal adalah pihak paling dekat dengan predator seks di lingkungan pendidikan dan sekaligus paling dekat dengan para korban.

  1. Penerapan Sanksi yang Tegas

Otoritas internal suatu institusi pendidikan harus menyusun dan menerapkan sanksi yang tegas untuk pelaku, agar hal ini tidak dianggap sebagai suatu kewajaran dan pelaku mudah untuk membela diri.

Karena menurut Shakeshaft, umumnya predator seks ini sering membela diri dengan alasan korban telah menggodanya, atau mengatakan bahwa korban memang menginginkan hal itu terjadi.

Baca Juga: 4 Makanan Ini Harus Dihindari Oleh Penderita Asam Urat

  1. Mengadakan Pelatihan Rutin.

Otoritas sebuah institusi pendidikan harus melakukan pelatihan secara rutin, untuk mensosialisasikan batasan-batasan yang wajar antara tenaga pendidik dengan peserta didik.

Pelatihan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kewaspadaan orangtua dan para staf di lingkungan pendidikan tersebut.

Shakeshaff menyarankan agar Pelatihan rutin ini tidak hanya ditujukan kepada peserta didik, namun juga kepada tenaga pengajar, staf dan orang tua.

  1. Harus Hati-hati Merekrut Tenaga Pendidik

Shakeshaff lebih jauh menyarankan agar Institusi pendidikan lebih hati-hati dalam melakukan rekrutmen tenaga pendidik.

Hal ini bisa dilakukan dengan mencermati lebih jauh latar belakangnya, terutama mewawancarai langsung tentang riwayat perilakunya secara lebih terperinci.

 Baca Juga: Pesinetron Rizky Nazar Ditangkap Terkait Kasus Narkoba Jenis Ganja

  1. Pemantauan Lingkungan Institusi Pendidikan

Pemantauan lingkungan ini dimaksudkan agar terciptanya kondisi yang aman dengan cara mengubah budaya sekolah dan melibatkan semua orang untuk menilai resiko terjadinya kekerasan seksual.

Bentuk pengawasan ini dapat dilakukan dengan cara memastikan pintu kelas harus memiliki jendela kaca dan tidak boleh ditutup.

Pengawasan juga harus dilakukan di tempat-tempat yang berisiko seperti gudang, ruang kelas, dan kantor Guru yang terkunci harus diperiksa paling tidak sebelum atau sesudah jadwal sekolah berakhir.

Itulah beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual khususnya di lingkungan pendidikan.

Dengan mengetahui hal ini para orangtua dan peserta didik dapat lebih berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan siapapun.***

Editor: Bondan Kartiko Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah