8 Januari Wafatnya Pangeran Diponegoro, Berikut Profil dan Perjuangannya dalam Melawan Penjajah

- 6 Januari 2023, 13:24 WIB
Profil dan perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro melawan Belanda
Profil dan perjuangan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro melawan Belanda /Kemdikbud

ZONABANTEN.com – 8 Januari wafatnya Pangeran Diponegoro, berikut profil dan perjuangannya dalam melawan penjajah.

Masyarakat Indonesia pasti sudah mengenal nama Pangeran Diponegoro, salah satu pahlawan yang berjasa di masa penjajahan.

Pangeran Diponegoro, yang memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono III.

Ia lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Sosoknya dikenal sebagai pemimpin Perang Diponegoro, atau disebut sebagai Perang Jawa.

Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang dialami oleh Belanda, sebelum masa pendudukannya di Indonesia.

Perang Diponegoro terjadi karena Pangeran tidak setuju adanya campur tangan Belanda dalam kerajaan.

Selain itu, sejak tahun 1821, para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.

Baca Juga: Fakta Menarik Tentang Lukisan ‘Penangkapan Pangeran Diponegoro’, Populer Berkat Film ‘Mencuri Raden Saleh' 

Pada 6 Mei 1823, Van der Capellen mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa oleh Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824.

Tak hanya itu, pemilik tanah diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa. Mengetahui hal itu, Pangeran Diponegoro tak tinggal diam.

Ia bertekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan.

Kekecewaan Pangeran Diponegoro memuncak, kala Patih Danuerja memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya, atas perintah Belanda.

Sang Pangeran semakin membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda dan siap untuk perang.

Pada 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang.

Rumah Pangeran Diponegoro jatuh dan dibakar, namun ia dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos, karena lebih mengenal medan di Tegalrejo.

Baca Juga: Sejarah Dibentuknya TNI, Telah Berjuang untuk Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari Penjajah 

Sang Pangeran, keluarga, dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan memutuskan untuk pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit yang dijadikan markas besarnya.

Penyerangan di Tegalrejo menandakan dimulainya Perang Diponegoro, yang berlangsung selama lima tahun.

Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang.

Sebanyak 15 dari 19 pangeran ikut serta dengan Diponegoro. Bahkan, Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk desa.

Perjuangannya dibantu oleh Kyai Mojo, yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan tersebut.

Dalam perang ini, Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S Pakubowono VI, serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo, Bupati Gagatan.

Pada tahun 1827, Belanda menyerang dengan menggunakan sistem benteng, sehingga pasukan Diponegoro terjepit.

Baca Juga: Hari Ini dalam Sejarah: Insiden Hotel Yamato, Dirobeknya Bendera Belanda oleh Pejuang Surabaya 

Dua tahun kemudian, Kyai Mojo ditangkap. Kemudian, Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya, Alibasah Sentot Prawirodirjo, menyerah kepada Belanda.

Akhirnya, pada 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang.

Di sana Pangeran menyatakan bersedia untuk menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan.

Pangeran diasingkan ke Manado, lalu dipindahkan ke Makassar, hingga wafatnya di Benteng Rotterdam pada 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro telah menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas dari pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara dan 7.000 serdadu pribumi.

Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang saudara antara orang-orang keraton pihak Diponegoro dengan anti-Diponegoro. Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.***

Editor: Dinda Indah Puspa Rini

Sumber: Kemdikbud


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x