Dokter ini Diduga Menolak Prosedur Histerektomi pada Wanita Lesbian Karena Khawatir Orientasinya Berubah

19 November 2021, 06:10 WIB
Ilustrasi dokter /National Cancer Institute

 

ZONABANTEN.com - Seorang wanita lesbian berusia 27 tahun yang sudah menikah mengaku bila dokter menolak melakukan prosedur histerektomi atau pengangkatan rahim kepadanya terkait orientasi seksualnya.

Wanita bernama Rachel Champ tersebut sebelumnya selalu merasa nyeri haid sejak ia masih berusia 10 tahun. Kala itu, ita hanay diberi resep obat penghilang rasa sakit saja.

Akan tetapi, gejalanya malah bertambah buruk. Di mana ia mulai berhadapan dengan rasa kram, nyeri punggung dan kaki bagian bawah, serta migrain dan mual-mual.

Ketika berusia 25 tahun, seorang dokter pria menolak keluhannya dan mengatakan bahwa ia hanya perlu meminum obat penghilang rasa sakit.

Baca Juga: Untuk Pertama Kalinya, Rune Factory 5 Dikonfirmasi Bakal Punya Fitur Pernikahan Sesama Jenis

Sampai akhirnya tahun 2020 lalu, Champ menghabiskan waktu sebulan berada di atas tempat tidur karena kondisinya. Kala itu, pasangannya, yang kemudian dinikahinya pada bulan Juni 2021, membawakan makanan dan obat pereda nyeri untuknya.

Rachel Champ dan pasangan wanitanya, Karen

Akhirnya Champ pun dirawat di rumah sakit. Hasil tes pencitraan yang dilakukan menemukan bahwa ternyata ia memiliki kista ovarium.

“Aku merasa seperti kehilangan banyak hal karena rasa sakit yang kualami,” kata Champ, dilansir dari Mirror.

“Rasa sakit ini benar-benar berdampak pada setiap aspek kehidupanku. Aku rindu pekerjaan, kuliah dan acara sosial. Hidupku, termasuk pernikahanku, direncanakan ketika aku mengalami menstruasi, karena aku tahu aku tidak akan bisa meninggalkan tempat tidur,” tambahnya.

Champ kemudian memutuskan untuk melakukan serangkaian tes, termasuk ultrasound, MRI dan CT scan, untuk memantau kista, dan memastikan kapan kista itu pecah.

Baca Juga: Izzy Garcia Jadi Karakter Ranger LGBT Pertama di Serial Power Rangers, Tuai Pro dan Kontra di Kalangan Fans

Pekan lalu, wanita itu meminta dokter lain di rumah sakit dan mengajukan pilihan suntikan decapeptyl, yang akan menyebabkan menopause sementara.

Namun, dokter tersebut menyatakan bila suntikan decapepty bukanlah solusi jangka panjang yang tepat bagi Champ.

“Dia (dokter) pertama kali mengatakan kepadaku bahwa itu tidak akan menjadi pilihan karena usiaku saat ini (27 tahun). Dia bilang aku terlalu muda untuk mempertimbangkan keputusan drastis seperti itu. Dia mengatakan dia tidak pernah melakukan histerektomi pada seseorang seusiaku dan dia juga tidak berencana untuk melakukannya," kata Champ.

"Dia juga mengatakan bahwa itu akan menjadi percakapan yang berbeda jika aku berusia 45 tahun. Tetapi karena aku masih sangat muda dan memiliki masa subur lebih dari 15 tahun lagi, dia tidak akan mempertimbangkannya sebagai pilihan," tambahnya.

Pasangan itu mengatakan kepadanya bahwa karena mereka tidak dapat hamil secara alami, mereka memutuskan Karen untuk mendapatkan perawatan kesuburan atau mengadopsi.

Baca Juga: Update Game Rune Factory 5 dengan Fitur 'Pernikahan Sesama Jenis' Resmi Rilis untuk Region Jepang dan Asia

"Aku sangat terbuka dengannya dan mengatakan kepadanya bahwa rasa sakitnya bisa sangat parah dan berdampak pada hidupku. Jadi, ada saat-saat aku berharap untuk mati daripada harus mengalami rasa sakit itu, bahkan walau hanya satu menit," ungkap Champ.

"Ia (dokter) juga berkata, 'Saya tidak ingin kamu menyesal jika keadaan berubah, mungkin kamu meninggalkan pasanganmu, orientasi seksualmu akan berubah, dan kamu mungkin akan bertemu orang lain (pria) yang menginginkan anak','" katanya.

“Jujur saja, kami berdua (Champ dan Karen) merasa shock. Kami berdua menangis mengetahui perlakuannya padaku, dan bagaimana hubungan kami yang jadi bahan pertimbangannya," imbuh Champ.

Champ kemudian mengajukan keluhan terhadap dokter tersebut dengan harapan dapat menjelaskan diskriminasi medis.

"Aku harap tidak ada orang lain yang diperlakukan sepertiku," ucapnya. “Secara khusus, aku berharap ini juga menyoroti hambatan ekstra yang dihadapi komunitas LGBTQ ketika mencoba mendapatkan perawatan medis, dan bagaimana bias dokter dapat menyebabkan konsekuensi yang menghancurkan bagi kita.”

Editor: Bondan Kartiko Kurniawan

Sumber: nypost

Tags

Terkini

Terpopuler