ZONABANTEN.com - Sebelum Bank Indonesia luncurkan uang bersambung pecahan Rp20 ribu dan Rp100 ribu, banyak koleksi numismatik uang kerajaan di nusantara.
Mulai dari masa kejayaan kerajaan Hindu-Buddha, saat penjajahan di Indonesia, juga setelah masa kemerdekaan RI, dll.
Sebelum masa kerajaan Hindu-Buddha, perdagangan di nusantara menuntut penggunaan alat pembayaran yang bisa diterima secara umum sebagai pengganti sistem barter.
Awalnya alat pembayaran yang digunakan masih sangat sederhana, seperti di wilayah Irian yang memakai kulit kerang dengan jenis tertentu.
Baca Juga: Diujung Tanduk, Manajemen Klub Spurs Diskusikan Masa Depan Sang Manajer
Kemudian di wilayah Bengkulu dan Pekalongan memakai manik-manik, serta di wilayah Bekasi memakai belincung (semacam kapak batu) sebagai alat pembayaran saat itu.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, alat pembayaran tersebut mengalami kemajuan, terutama dari bahan dan desainnya.
Misalnya di Jawa, alat pembayaran sudah terbuat dari logam. Mata uang tertua dibuat sekitar awal abad kedua belas dari emas dan perak.
Yang disebut Krisnala (uang Ma) peninggalan Kerajaan Jenggala. Sementara di luar Jawa, Kerajaan Buton meninggalkan uang Kampua yang beredar pada abad kesembilan.
Baca Juga: Bayern Munchen dan Spurs Rebutan Dapatkan Randal Kolo Muani
Kerajaan-kerajaan besar Hindu-Buddha di Nusantara seperti Sriwijaya dan Majapahit pada masa itu mempunyai mata uang sendiri.
Sedangkan Majapahit meninggalkan uang Gobog yang terbuat dari tembaga, diperkirakan beredar pada abad keempat belas sampai keenam belas.
Uang masa awal kemerdekaan
Indonesia dan masuknya NICA ke Indonesia berikut ini.
Baca Juga: Kalahkan City di Etihad, Wilfried Zaha Terima Pesan Rasis dari Fans City
Pada awal kemerdekaan Indonesia, kondisi moneter negara sangatlah buruk. Diperkirakan, ada sekitar empat miliar rupiah Jepang yang beredar.
1,6 miliar beredar di Pulau Jawa. Kondisi moneter semakin memburuk ketika NICA dengan sekutu menduduki kota-kota besar Indonesia dan menguasai bank-bank Jepang.
NICA juga mengedarkan uang Hindia Belanda baru yang dikenal sebagai uang NICA. Semuanya memperparah kondisi keuangan Indonesia.
Di wilayah Republik Indonesia, Pemerintah Indonesia tidak bisa segera mencetak mata uang sendiri, karena keterbatasan dana dan tenaga ahli.
Baca Juga: Pertahankan gelar, Archangel Divine Kembali Jadi Jawara di ASL Winter 2021!
Untuk mengatasinya, berdasarkan Maklumat 3 Oktober 1945, mata uang yang beredar sampai masa pendudukan Jepang diakui sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia.
Puluhan tahun kemudian, pemerintah luncurkan uang bersambung.
Uang bersambung adalah uang yang sengaja dicetak tanpa memotong kertasnya.
Sehingga uang-uang tersebut bergandengan satu sama lain.
Uang tersebut sengaja dicetak dalam jumlah terbatas untuk konsumsi para kolektor walaupun tetap merupakan alat pembayaran yang sah.
Pada 1 Desember 2004, Bank Indonesia menerbitkan uang bersambung pecahan Rp20.000 dan Rp100.000.
Keduanya dalam dua lembaran dan empat lembaran.
Kemudian pada 20 Oktober 2005 terbit lagi uang bersambung pecahan Rp10.000 dan Rp50.000, keduanya juga dalam dua lembaran dan empat lembaran.***
*Disclaimer:Artikel ini telah mengalami perbaikan judul demi kenyamanan pembaca, terima kasih