Di abad ke-13, terjadilah perkembangan baru dalam struktur ketatanegaraan Indonesia di Jawa Timur, yang ditandai dengan munculnya Nagara (Provinsi).
Berdasarkan Prasasti Mulamalurung, dari masa Wisnu Wardhana yang bergelar Sminingrat, ia menyatakan bahwa struktur pemerintahan Singasari adalah Pusat, Provinsi, Kabupaten, dan Desa.
Pada masa Kerajaan Majapahit, susunan itu disempurnakan menjadi Bhumi (Pusat/Kraton), Negara (Provinsi/Bhatara), Watek/Wisaya (Kabupaten/Tumenggung), Lurah/Kuwu (Kademangan), Thani/Wanua (Desa/Petinggi), dan Kabuyutan (Dusun/Rama).
Namun, struktur kenegaraan Majapahit justru berkembang secara ketat pada masa Kerajaan Mataram, di mana wilayahnya terdiri dari Kuthagara/Nagara (Pusat/Kraton), Negaragung/Negaraagung (Provinsi Dalam), Mancanegara (Provinsi Luar), Kabupaten, dan Desa.
Secara etimologis, sebutan Jawa Timur pada zaman Mataram Islam disebut dengan Bang Wetan, dengan wilayah yang meliputi seluruh Pesisir Wetan dan Mancanegara Wetan.
Berakhirnya Perang Diponegoro, seluruh Jawa Timur dapat dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan menjalankan pemerintahan dengan hubungan langsung Pemerintah Pusat VOC di Batavia dengan para bupati.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai menata kehidupan kenegaraan. Berdasarkan Pasal 18 UUD 1945, pada tanggal 19 Agustus 1945 oleh PPKI, dibentuklah provinsi dan penentuan para gubernur.
R.M.T. Soerjo, yang kala itu menjabat sebagai Residen Bojonegoro, ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur pertama, yang dilantik pada 5 September 1945.
Pada 11 Oktober 1945, R.M.T. Soerjo harus menyelesaikan tugasnya di Bojonegoro, lalu diboyong ke Surabaya, Ibukota Provinsi Jawa Timur, pada 12 Oktober 1945, yang menandai mulai berputarnya mekanisme Pemerintahan Provinsi Jawa Timur.