Fungsi Akal dalam Keimanan: Perbedaan Cara Mengimani Allah dan Taat Pada Syariat Allah

- 24 Januari 2022, 12:14 WIB
fungsi akal dalam keimanan: perbedaan cara mengimani allah dan taat pada syariat allah/ pixabay/ rudolf_langer/
fungsi akal dalam keimanan: perbedaan cara mengimani allah dan taat pada syariat allah/ pixabay/ rudolf_langer/ /

ZONABANTEN.com - Sejauh Mana manusia bisa menggunakan akal dalam urusan keimanan? Islam merupakan agama yang berbeda dari agama yang lain.

Dapat dikatakan bahwa, islam menolak segala bentuk penerimaan terhadap Allah dengan cara yang kebetulan atau tidak sengaja. Kecuali berdasarkan akal.

Sebagaimana di dalam al quran disebutkan, islam meminta setiap orang sebelum ia menemukan Allah ia harus berpikir menggunakan akal terlebih dahulu.

Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan berulang-ulang dalam al quran, “afala ta’qilun,” (apakah kamu tidak berpikir). “Ya ulil albab,” (wahai orang-orang yang memiliki akal), dan masih banyak lagi.

Baca Juga: WOW! Amalan Sederhana dan Bisa Dilakukan Dengan Cepat Ini, Mampu Menghapus Dosa

Islam adalah agama yang meminta manusia untuk menggunakan akalnya, agar dapat mengetahui adanya esistensi Allah subhanahu wa ta’ala.

Karena keberadaan Allah itu diberikan melalui ayat-ayatnya, dan tanda-tandanya tersebut dapat diperoleh dari proses berpikir.

Tidak salah jika seseorang menemukan ratusan ayat dalam alquran yang menyuruh manusia untuk berpikir, agar ia mendapatkan tanda dari kebesaran Allah.

Sara satu-satunya untuk mengimani Allah adalah dengan menggunakan akal. Sebaliknya, siapa pun yang tidak dapat menggunakan akal, maka Allah tidak akan membebaninya untuk bisa beriman.

Misalnya hewan yang tidak memiliki akal, maka ia tidak dibebani untuk beribadah sebagaimana manusia. Tidak dibebani untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, atau mengikuti syariat Allah.

Dalam hal ini antara mengimani Allah dengan taat pada syariat Allah adalah dua hal yang berbeda. Meskipun terlihat seolah sama.

Berbicara tentang iman atau aqidah, aqidah tidak boleh ikut-ikutan. Salah satu cara agar tidak ikut-ikutan adalah menggunakan akal.

Baca Juga: Metaverse dalam Perspektif Islam, Ustadz Adi Hidayat: Jangan Sampai Ada Sholat dan Haji Virtual

Rusmusnya ketika seseorang berpikir lalu mendapatkan bukti berupa dalil dari al quran dan hadis, hasilnya ia akan menjadi yakin, dan akhirnya beriman.

Ketika seseorang mendapatkan iman dengan cara yang demikian, maka ketika ia sendirian dalam Negara kafir. Ia tetap akan teguh pada keimanannya.

Sebab, ia yakin berdasarkan bukti sekaligus cara berpikir. Itulah sebabnya mengapa dalam al quran banyak ayat yang meminta manusia untuk banyak berpikir dan menggunakan akalnya.

Namun, Allah membatasi bahwa berpikir ini hanya sampai pada Allah, dalam urusan aqidah. Adapun dalam urusan syariat, akal tidak lagi berfungsi sebagai penentu.

Akal dalam syariat berfungsi sebagai alat untuk memahami sesuatu. Dalam analogi kedokteran, akal digunakan untuk memastikan ini dokter atau bukan.

Setelah dia tahu itu dokter, lalu melakukan pemeriksaan. Bisa jadi resep yang diberikan dokter tidak masuk akal untuknya.

Baca Juga: Keutamaan Istighfar, Manfaat dan Kemuliaan dari Memperbanyak Taubat

Namun, karena dia percaya itu dokter berdasarkan bukti-bukti, maka apapun resep yang diberikan pasti benar.

Ia akan mentaati dan menerima segala masukan dan resep tersebut, meskipun terkadang tidak masuk akal.

Seperti itulah analogi sederhana keimanan seseorang pada tuhannya melalui perantara akal. Hal tersebut menjadi bukti bahwa akal digunakan untuk menemukan eksistensi Allah.

Setelah menemukannya, akal tidak lagi berfungsi. Namun, ia menjadi metode untuk memahami resep atau syariat islam.

Ketika seseorang kentut, lalu berwudhu kembali. Mengapa yang dibasuh adalah muka, tangan dan kaki?

Jika masih ada orang yang bertanya demikian, berarti ia belum mengerti logika dokter di atas.

Baca Juga: Berhasil Menggiring 90 Santrinya Masuk Universitas Al Azhar Kairo, DR Ferry M Siregar Ungkap Rahasianya

Logika dokter, ketika ia menyuruh melakukan sesuatu dan ketika dilakukan maka selesai. Sebab logikanya semua yang dikatakan dokter adalah benar, karena ahlinya kesehatan.

Apalagi Allah yang menciptakan manusia. Syariatnya yang diturunkan pada manusia segala perintah dan larangannya sudah pasti benar. Meskipun terkadang tidak masuk akal pada manusia.

Seperti halnya manusia dan robot. Tentu ilmu antara keduanya berbeda, pencipta dengan hasil ciptaan. Ilmu yang dimiliki tentu lebih luas dan dalam dari hasil yang diciptakan.

Ketika berbicara pada syariat, maka akal menjadi sami'na wa atho’na (kami dengar dan kami taat). Namun, terkadang hal tersebut dimaknai berbeda oleh sebagian orang.***

Editor: Rizki Ramadhan

Sumber: YouTube Felix Siauw


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x