Naskah Khutbah Jumat 24 Mei 2024: Memaknai Haji Dalam Konteks Keberagaman Dan Keberagamaan

23 Mei 2024, 17:11 WIB
Ilustrasi Shalat Jum'at Berjamaah yang Dilaksanakan Secara Khusyu’ pada 24 Mei 2024 /Freepik/

ZONABANTEN.com – Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim yang mampu secara fisik, finansial, dan mental. Sebagai perintah yang teramat suci dan penuh makna, haji tidak hanya mencakup aspek spiritual dan keagamaan semata, tetapi juga menjadi cerminan dari keragaman umat Islam di seluruh dunia.

Selain mencerminkan keragaman, ibadah haji juga memperlihatkan kekayaan keberagamaan dalam Islam.

Setiap ritual, mulai dari thawaf di Ka'bah hingga wuquf di Arafah, sarat dengan nilai-nilai spiritual dan historis yang memperdalam iman serta meningkatkan takwa kepada Allah SWT.

Perbedaan tradisi dan budaya di antara para jamaah memperkaya pengalaman spiritual, menunjukkan betapa luas dan inklusifnya Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Ibadah haji menjadi simbol persaudaraan Islam yang kuat, mengingatkan kita bahwa meskipun berbeda, kita adalah bagian dari satu umat yang sama.

Baca Juga: Jurnalis Perempuan di Sulawesi Selatan Lakukan Aksi Damai, Tolak Rancangan Undang-Undang Penyiaran

Oleh karena itu, pada seri khutbah Jum’at, 24 Mei 2024 ini, penulis akan memberikan contoh Naskah Khutbah dengan tema “Memaknai Haji Dalam Konteks Keberagaman Dan Keberagamaan”, berikut di bawah ini:

Khutbah Pertama

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد. فَيَاعِبَادَ الله اُوْصِيْكُمْ وَنَفِى بِتَقْوَى اللهَ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ: أعوذ بالله من الشيطان الرَّ جيم بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا.

Ma'asyiral jamaati fii shalatil Jum'ah rahimakumullah

Di tengah kehidupan yang senantiasa bergulir, jumat demi jumat berlalu, seiring itu juga khutbah demi khutbah kita perdengarkan dan menyirami sejenak hati yang penuh ketundukan  dan mengharapkan keridhoaan Allah.

Kesadaran kemudian muncul dengan tekad untuk menjadi hamba yang Allah yang taat.

Namun kadangkala dengan rutinitas yang kembali mengisi hari-hari kita kesadaran itu kembali tumpul bahkan luntur.

Oleh sebab itulah melalui mimbar jumat ini khotib kembali mengajak marilah kita berupaya secara sungguh-sungguh memperbaharui keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah, memperbaharui kembali komitmen kita kepada Allah yang sering kita ulang-ulang namun jarang diresapi, sebuah komitmen yang mestinya menyertai setiap langkah kita:

إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ  لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا من الْمُسْلِمِينَ

“Sesungguhnya sholatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah termasuk orang orang yang menyerahkan diri.”

Baca Juga: Strategi Percepatan Program, Indonesia Targetkan Pengembangan Kendaraan Listrik dan Ekosistemnya

Ma'asyiral jamaati fii shalatil Jum'ah rahimakumullah

Ibadah haji secara syar’i hukumnya wajib. Tetapi hukum wajibnya tidak bersifat mutlak secara utuh, tetapi ditujukan kepada mereka yang telah mampu. Ibadah haji adalah kebutuhan bagi mereka yang telah mampu dan karenanya harus dilaksanakan sesegera mungkin.

Bagi mereka, kewajiban melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci tidak mengganggu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan lainnya karena mereka memang memiliki rejeki yang lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti kebutuhan sandang, pangan dan papan.

Oleh karena itu sangat jelas dinyatakan bahwa ibadah haji adalah wajib bagi orang-orang yang telah mampu sebagaimana firman Allah dalam surah Ali Imran, ayat 97:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah.”

Namun, kewajiban menunaikan ibadah haji hanya berlaku sekali seumur hidup, sehingga pelaksanaan haji untuk kedua kalinya dan seterusnya adalah sunnah. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah saw yang mengatakan hal tersebut:

أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ فَرَضَ اللهُ عَلَيْكُمُ الْحَجَّ فَحُجُّوا. فَقَالَ رَجُلٌ: أَكُلَّ عَامٍ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَسَكَتَ حَتَّى قَالَهَا ثَلاَثًا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوَجَبَتْ، وَلَمَا اسْتَطَعْتُمْ. ثُمَّ قَالَ: ذَرُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةِ سُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَدَعُوْهُ

Artinya: “Wahai sekalian manusia, sungguh Allah telah mewajibkan bagi kalian haji maka berhajilah kalian!” Seseorang berkata: “Apakah setiap tahun, ya Rasulullah?” Beliau terdiam sehingga orang tersebut mengulangi ucapannya tiga kali. Lalu Rasulullah SAW bersabda: “Kalau aku katakan ya, niscaya akan wajib bagi kalian dan kalian tidak akan sanggup.” Kemudian beliau berkata: “Biarkanlah apa yang aku tinggalkan kepada kalian. Sesungguhnya orang sebelum kalian telah binasa karena mereka banyak bertanya yang tidak diperlukan dan menyelisihi nabi nabi mereka. Jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian maka lakukanlah sesuai dengan kesanggupan kalian. Dan bila aku melarang kalian dari sesuatu maka tinggalkanlah.”

Baca Juga: Wuling EV ABC Stories Hadirkan Pengalaman Drive For A Green Life di World Water Forum

Ma'asyiral jamaati fii shalatil Jum'ah rahimakumullah

Berdasarkan hadist di atas dapat kita simpulkan bahwa bagi mereka yang belum mampu, ibadah haji hukumnya tidak wajib untuk ditunaikan.

Artinya, daripada memaksakan diri dengan menjual harta benda dan mengabaikan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan bagi diri sendiri dan keluarga, lebih baik fokus pada pemenuhan kebutuhan tersebut sebagai kewajiban syar'i dan sosial.

Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, keinginan untuk berhaji bisa meningkat menjadi keinginan kuat ('azam).

Keinginan ini mendorong untuk menabung demi menunaikan haji. Ketika tabungan cukup untuk biaya haji, keinginan tersebut barulah menjadi suatu kebutuhan yang harus segera dipenuhi.

Ma'asyiral jamaati fii shalatil Jum'ah rahimakumullah

Penting bagi kita untuk memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan. Jangan sampai ada yang salah kaprah tentang kedua hal ini.

Kita harus mengutamakan kebutuhan daripada keinginan agar dapat bersikap bijak dan proporsional dalam memahami rukun Islam kelima. Jangan memaksakan diri mengejar ibadah haji jika belum wajib karena belum mampu, sehingga mengabaikan kewajiban yang jelas di depan mata.

Seperti halnya shalat yang dilakukan sebelum waktunya tiba, tentu hukumnya tidak sah. Demikian pula ibadah haji yang dilakukan dengan mengabaikan kewajiban memenuhi kebutuhan dasar keluarga, minimal secara akhlak tidak tepat.

Sangat ironis jika orang tua berangkat haji sementara anak-anaknya tidak bersekolah dan kesehatannya terabaikan karena alasan biaya. Ibadah haji yang dilakukan dalam kondisi seperti ini sulit dibenarkan menurut hukum agama.

Dalam ilmu agama, terdapat konsep fiqhul aulawiyyat atau fikih prioritas sebagaimana yang digagas oleh Syekh Dr. Yusuf al-Qardhawi. Dalam pengantar kitabnya yang berjudul “Fi fiqihil Aulawiyyat” di halaman 9, beliau menjelaskan maksud dari fikih prioritas sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan fikih prioritas adalah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan dalil, baik dari segi hukum, nilai, maupun pelaksanaannya. Pekerjaan yang harus didahulukan adalah yang memiliki penilaian syari’ah yang shahih, yang dipandu oleh cahaya wahyu dan diterangi oleh akal.”

Jadi, fikih prioritas pada intinya menekankan urutan pelaksanaan kewajiban atau beban sesuai dengan tingkat hukumnya. Berdasarkan prinsip ini, perkara yang hukumnya fardhu 'ain harus diutamakan dibandingkan perkara yang hukumnya fardhu kifayah.

Baca Juga: Calon Kiper Timnas Indonesia Maarten Paes Lakukan Save Luar Biasa, FC Dallas Lolos ke 8 Besar US Open Cup 2024

Perkara yang hukumnya wajib harus diutamakan daripada perkara yang hukumnya sunnah. Sesuatu yang manfaatnya besar dan luas harus diutamakan daripada perkara yang manfaatnya kecil dan terbatas, dan seterusnya.

Dalam bahasa ekonomi, pemenuhan kebutuhan harus didahulukan daripada pemenuhan keinginan. Inilah yang disebut skala prioritas dalam ilmu manajemen.

Dalam kaitan itu, Syekh Dr. Yusuf al-Qardhawi mengkritik orang-orang kaya yang sering melakukan ibadah haji dan umrah berulang kali ke Tanah Suci, tetapi pada saat yang sama mengabaikan fakta bahwa masih banyak orang miskin di masyarakat yang membutuhkan bantuan.

Tidak sedikit dari mereka yang memutuskan untuk berpindah agama karena tidak mendapatkan pertolongan dari sesama muslim yang lebih mampu.

Orang-orang kaya seharusnya memperhatikan kewajiban mereka dalam berjihad di jalan Allah dengan menggunakan kekayaan mereka untuk mencegah pemurtadan di kalangan orang-orang miskin muslim tersebut.

Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Karenanya, jihad tidak hanya terbatas pada penggunaan senjata, tetapi juga dapat dilakukan dengan memberikan bantuan finansial, seperti memberikan beasiswa untuk pendidikan anak-anak mereka, mengikuti kursus keterampilan, atau menyediakan modal untuk usaha.

Baca Juga: Strategi Percepatan Program, Indonesia Targetkan Pengembangan Kendaraan Listrik dan Ekosistemnya

Ma'asyiral jamaati fii shalatil Jum'ah rahimakumullah

Di sisi lain, terkadang kita melihat bahwa beberapa orang yang lemah secara ekonomi mampu melaksanakan ibadah haji setelah menabung selama bertahun-tahun.

Ini bukanlah masalah asalkan dalam proses menabung tersebut mereka tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban seperti biaya pendidikan anak-anak, pengobatan keluarga yang sakit, pembayaran zakat, dan sebagainya, termasuk juga kewajiban sosial seperti pembayaran pajak dan iuran-iuran di masyarakat yang telah disepakati bersama.

Atau bisa jadi mereka tidak memiliki tanggungan apapun terkait kewajiban mereka sebagai orang tua.

Namun, jika kegiatan menabung untuk ibadah haji mengakibatkan anak-anak terlantar tanpa pendidikan yang cukup dan kesehatan yang memadai, hal ini tidak sesuai dengan prinsip fikih prioritas yang telah dijelaskan sebelumnya.

Mencari ilmu adalah kewajiban, dan orang tua memiliki kewajiban untuk memastikan anak-anak mereka mendapatkan pendidikan yang memadai.

Menjaga kesehatan juga kewajiban, dan kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan tersebut, bahkan jika itu berarti mengorbankan sebagian dari uang dan harta kita, selain dari kewajiban lainnya seperti menafkahi mereka.

Setelah semua kewajiban tersebut terpenuhi, mereka dapat meningkatkan upaya mereka untuk melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci dengan menggunakan semua potensi yang mereka miliki, misalnya dengan cara menabung. Namun, jika ternyata mereka masih tidak mampu, itu tidak menjadi masalah karena ibadah haji memang diwajibkan hanya bagi mereka yang telah mampu melakukannya.

Baca Juga: Berantas Judi Online, Menkominfo Sebut Presiden Joko Widodo Akan Bentuk Satgas Khusus

Meskipun demikian, mereka tetap akan mendapatkan pahala dari niat baik dan keinginan mereka untuk menunaikan ibadah haji tersebut. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi sebagai berikut:

نِيةُ المُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ

“Niat seorang mukmin lebih utama daripada amalnya.”

Maka, di sinilah pentingnya niat dalam melaksanakan sesuatu. Sebagaimana disampaikan dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim, yang menyatakan sebagai berikut:

فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللَّهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً

“Maka siapa yang memiliki keinginan atau berniat melakukan suatu kebaikan lalu tidak jadi melaksanakannya, Allah akan mencatat pahalanya di sisi-Nya satu kebaikan sempurna.”

Ma'asyiral jamaati fii shalatil Jum'ah rahimakumullah

Sekali lagi, ibadah haji memang wajib hukumnya, namun Allah tidak bermaksud membebani hamba-Nya dengan mewajibkan rukun Islam kelima itu kecuali sebatas kemampuan masing-masing. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah ayat 286 sebagai berikut:

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya.”

Hal senada juga ditegaskan dalam surah al-Maidah, ayat 6:

مَا يُرِيْدُ اللهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

“Allah tidak menginginkan bagi kalian sesuatu yang memberatkan kalian.”

Kedua ayat tersebut seharusnya menjadi pedoman bagi kaum muslimin dalam menyikapi kewajiban-kewajiban agama, terutama yang tercantum dalam Rukun Islam, termasuk kewajiban beribadah haji ke Tanah Suci. Ibadah haji memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan kemampuan fisik yang tidak boleh dianggap enteng. Hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dari ibadah haji.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْم إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah ke 2

اَلْحَمْدُ لله حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ, أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنّ مُحَمّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. امّا بعـد. فَيَاعِبَادَ الله، اُوْصِيْكُمْ وَنَفِى بِتَقْوَى اللهَ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْن.

قَالَ اللهُ تَعَالى, إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.  

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنا إِبْرَاهِيْمَ، فِي العَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ، اَللّهُمَّ اغْفِرْلِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلاَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ, رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخٰسِرِينَ,رَبَّنَااَتِنَافِي الدُّنيْاَحَسَنَةَ وَفِي الْأَجِرَةِحَسَنَةَوَقِناَعَذَابَ النَّارِ.

عِبَادَ اللهِ.. إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ.  وَلَذِكْرُاللَّهِ اَكْبَرُ... أقِمُ الصَّلَه

Demikianlah Naskah Khutbah dengan tema “Memaknai Haji Dalam Konteks Keberagaman Dan Keberagamaan”, disarikan dari seri khutbah Kementerian Agama RI pada Minggu ke-2 Juni 2023. Semoga bisa memberikan manfaat untuk kita semua.***

Editor: Rahman Wahid

Sumber: Kementerian Agama RI

Tags

Terkini

Terpopuler