Tentara Kuwait Mengizinkan Wanita dalam Perang Tempur, Namun Harus Tanpa Senjata

- 17 Februari 2022, 14:01 WIB
Tentara Kuwait Mengizinkan Wanita dalam Perang Tempur, Namun Harus Tanpa Senjata
Tentara Kuwait Mengizinkan Wanita dalam Perang Tempur, Namun Harus Tanpa Senjata /Unsplash
 
ZONABANTEN.com - Wanita Kuwait marah setelah militer, mengizinkan tentara wanita dalam perang tempur, namun memutuskan bahwa mereka memerlukan izin dari wali laki-laki dan melarang mereka membawa senjata.
 
Aktivis mengecam kebijakan itu sebagai "satu langkah maju, dua langkah mundur" setelah Kementerian Pertahanan juga memutuskan bahwa perempuan di angkatan bersenjata, tidak seperti warga sipil, harus mengenakan penutup kepala.
 
Langkah tersebut telah memicu reaksi online di Kuwait, yang biasanya dianggap sebagai salah satu masyarakat paling terbuka di Teluk seperti yang dilansir dari Straits Times.
 
 
"Saya tidak tahu mengapa ada batasan untuk bergabung dengan tentara," ujar Ghadeer al-Khashti, seorang guru olahraga dan anggota komite wanita Asosiasi Sepak Bola Kuwait.
 
"Kami memiliki semua jenis wanita yang bekerja di semua bidang, termasuk kepolisian," sambungnya.
 
Ia mengatakan bahwa ibunya telah membantu perlawanan, ketika diktator Irak Saddam Husein pada tahun 1990 menginvasi Kuwait dan mendudukinya selama tujuh bulan sebelum diusir oleh koalisi internasional yang dipimpin Amerika Serikat.
 
"Ibuku selama invasi Irak biasa menyembunyikan senjata di bawah abayanya dan membawanya ke anggota perlawanan Kuwait, dan ayahku mendorongbnya," ujar Khashti.
 
 
"Saya tidak mengerti atas dasar apa mereka melihat perempuan sebagai seseorang yang lemah," lanjutnya.
 
Kementerian setempat memutuskan pada Oktober tahun lalu, untuk mengizinkan perempuan dalam peran tempur, tetapi kemudian memberlakukan pembatasan setelah Menteri Pertahanan diinterogasi oleh anggota parlemen konservatif, Hamdan al-Azmi.
 
Azmi, yang didorong oleh fatwa agama Islam, berpendapat bahwa memilki perempuan dalam peran tempur, dianggap tidak sesuai dengan kodrat perempuan.
 
 
'Wanita Syahid'
 
Lulwa Saleh al-Mulla, selaku Kepala Masyarakat Budaya dan Sosial Wanita Kuwait, menyatakan bahwa pembatasan Kementerian itu diskriminatif dan inkonstitusional dan bersumpah tindakan hukum oleh organisasi.
 
"Kami memilki wanita martir yang membela negara mereka atas kemauan mereka sendiri," ujar Mulla.
 
"Tidak ada yang memerintahkan mereka untuk melakukan itu selain cinta untuk negara mereka," imbuhnya.
 
"Kami adalah negara Muslim, itu benar, tetapi kami menuntut hukum tidak tunduk pada fatwa. Kebebasan pribadi dijamin dalam konstitusi, yang menjadi dasar hukum negara," lanjutnya.
 
 
Perempuan Kuwait mendapatkan hak untuk memilih pada tahun 2005 dan telah aktif baik di Kabinet dan Parlemen, meskipun mereka kurang terwakili di keduanya.
 
Tidak seperti kebanyakan negara Teluk, Kuwait dikenal memiliki panggung politik yang aktif, dengan anggota parlemen secara teratur menantang pihak berwenang.
 
Awal bulan ini, lusinan wanita Kuwait melakukan protes terhadap penangguhan retret yoga wanita yang dianggap tidak senonoh oleh kaum konservatif.
 
Salah satunya adalah Hamdan al-Azmi yang membuat kicauan di Twitter, mengecam retret itu sebagai berbahaya dan asing bagi masyarakat konservatif di sana.
 
 
Para pengunjuk rasa perempuan, membawa plakat yang mengecam "eksploitasi masalah perempuan" dalam politik, serta "rezim fatwa" dan "perwalian terhadap perempuan".
 
Menurut Ibtihal al-Khatib, seorang profesor bahasa Inggris di Universitas Kuwait, bahwa perdebatan tentang aturan baru tentara untuk wanita telah berubah menjadi tidak rasional.
 
"Tentara perlu mengintegrasikan perempuan dan laki-laki tanpa diskriminasi," ucap akademisi feminis itu.
 
"Bahaya tidak membedakan antara pria dan wanita, dan kematian juga tidak selama pertempuran," tutupnya.***

Editor: IDHY ADHYANINDA SUGENG MULYANDINI

Sumber: Straits Times


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x